GURU PENJAS DAN KENDALA SARANA DAN PRASARANA
Seringkali seorang guru Pendidikan Jasmani atau penjas mengeluhkan keadaan sarana dan prasarana sekolah tempat ia mengajar. Terkadang, seorang guru penjas harus “bertengkar” dengan kepala sekolah atau kepsek untuk menyediakan fasilitas olahraga di sekolah. Sementara menurut pemikiran sebagian orang, pelajaran penjas tidak begitu penting, mengingat pelajaran tersebut tidak masuk dalam ujian nasional (UN) atau ujian akhir berstandar nasional (UASBN). Jadilah pelajaran penjas menjadi “anak tiri” di sekolah, sehingga kurang mendapat perhatian yang serius.
Kita tidak perlu menjelaskan
panjang lebar tentang peran sentral pelajaran penjas dalam mendukung proses
pendidikan secara menyeluruh. Tulisan ini lebih menekankan peran guru penjas,
agar lebih kreatif dan inovatif untuk memodifikasi pembelajaran penjas dengan
segala keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah. Harus disadari
bahwa sarana dan prasarana olahraga di sekolah sangat bervariasi antara satu sekolah
dengan sekolah lainnya. Jika sekolah memiliki fasilitas olahraga yang lengkap,
sudah tentu tidak menjadi persoalan bagi sang guru. Masalahnya, kita masih
menemukan sekolah dengan sarana dan prasarananya yang sangat terbatas. Menurut
Undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No. 3 Tahun 2005 pasal 20
dan 21 Sarana olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk
kegiatan olahraga. Sementara prasarana olahraga adalah tempat atau ruang
termasuk lingkungan yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan/ atau penyelenggaraan
keolahragaan.
Berdasarkan UU SKN tersebut dapat
dijelaskan bahwa sarana meliputi peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan
seperti bola kaki, bola voli, bola kasti, bola takraw, bola basket, papan
pantul ring basket, tiang voli beserta netnya, raket bulu tangkis beserta
netnya, meja tenis meja beserta betnya, tongkat estafet, peluru untuk tolak
peluru, lembing, bak lompat jauh, gawang futsal, matras dan peralatan lainnya.
Sementara prasarana meliputi ruangan atau lapangan yang dapat digunakan untuk
melakukan aktifitas olahraga yang akan dilakukan.
Sebuah sekolah idealnya memiliki
lapangan terbuka seluas 20x40 meter, maka di atas lapangan itu bisa dibuat
lapangan futsal, voli, bulu tangkis, sepak takraw, kasti. Kecuali untuk bola
basket, lapangan harus di semen dan membutuhkan fasilitas papan pantul dan
ring. Tetapi jika sebuah sekolah, hanya memiliki lapangan yang lebih kecil dari
ukuran di atas, maka guru penjas harus berpikir keras untuk memenuhi kewajiban
pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa. Tetapi, kebanyakan sekolah telah
memiliki lapangan yang berukuran seperti di atas, karena kebutuhan itu mutlak
mengingat sebagai lapangan untuk melaksanakan kegiatan upacara bendera.
Jika kebanyakan sekolah telah
memiliki lapangan yang telah memenuhi kebutuhan untuk melakukan aktifitas
olahraga, bagaimana dengan perlengkapannya? Inilah persoalannya! Peralatan
olahraga yang lengkap tidak dimiliki semua sekolah. Ada yang hanya memiliki
bola kaki dan bola voli saja, itupun jumlahnya sangat minim dan sudah bocor
pula.
Dengan jumlah siswa yang berkisar
antara 25-35 orang, idealnya jumlah bola yang dimiliki sekolah 15 buah. Artinya
kondisi perlengkapan olahraga yang ideal di sebuah sekolah setengah dari jumlah
siswa satu kelas. Itu artinya, setiap sekolah idealnya harus memiliki 15 buah
bola futsal, 15 buah bola voli, 15 buah bola takraw, 15 buah bola basket, 15
bola kasti, 15 buah raket dan shuttlecock, 15 buah bet dan bola tenis meja.
Sementara itu jumlah net bola voli, bulu tangkis, sepak takraw, tenis meja dan
bak lompat jauh cukup 1 (satu) buah saja. Selanjutnya ketersediaan gawang
futsal dibutuhkan 2 (dua) buah dan berkisar 5 (lima) buah untuk perlengkapan
lainnya seperti matras, gawang atletik, peluru tolak peluru, lembing, cakram.
Jika sebuah sekolah memiliki
fasilitas seperti disebut di atas, maka seorang guru penjas akan menikmati
tugasnya untuk menjadi fasilitator dengan penuh motivasi dan semangat. Tetapi,
jika kesemua fasilitas tersebut di atas tidak dapat terpenuhi oleh sekolah,
tidak boleh mengendurkan semangat guru penjas untuk mengajar. Toh, kalau
sekolah harus memenuhi semua fasilitas tersebut, berapa banyak dana BOS (biaya
operasional sekolah) yang harus tersedot untuk itu?
Guru penjas harus kreatif
mensiasati keadaan keterbatasan fasilitas! Seperti kata pepatah tak ada rotan
akar pun jadi. Semangat ini harus kita cam-kan. Sebagai seorang guru penjas,
tidak boleh kalah dengan kondisi yang ada. Karena, jika kita mau dan serius,
semua persoalan keterbatasan fasilitas olahraga dapat kita atasi.
Secara tidak sadar, selama ini
sebagian besar guru penjas telah bisa survive dengan kondisi keterbatasan yang
ada. Misalnya mengganti bola futsal dengan bola plastik yang harganya lebih
murah, mengganti tongkat estafet dengan ranting kayu, mengganti peluru atletik
dengan batu, mengganti cakram dengan piring plastik/ kaleng, mengganti gawang
dengan kardus bekas, mengganti raket dengan raket buatan dari papan atau
triplek, mengganti net dengan tali plastik, mengganti tiang gawang dengan
batang kayu dan mengganti matras dengan tumpukan jerami. Kenyataan tersebut
menegaskan bahwa, sebenarnya guru penjas telah memiliki kreatifitas untuk
memodifikasi peralatan olahraga. Alangkah bijaknya jika modifikasi yang telah
diciptakan guru-guru penjas sebelumnya dapat dimutakhirkan lagi dengan model
pembelajaran modifikasi yang tidak sebatas substitusi perlatan saja, tetapi
juga modifikasi yang kebih kreatif lagi.
Seperti apa modifikasi yang lebih
kreatif itu? Penulis mengelompokkannya ke dalam empat bagian, yakni ; pertama,
modifikasi permainan beserta peraturannya, kedua, modifikasi olahraga rakyat
menjadi olahraga yang lebih mengarah pada peningkatan kebugaran siswa, ketiga,
kegiatan aktivtas outbound, dan keempat, menciptakan bentuk permainan baru yang
lebih kreatif dan sesuai dengan kondisi lapangan sekolah yang ada.
Pertama, kita membahas modifikasi
peraturan permainan olahraga yang telah banyak dilakukan guru-guru penjas,
bahkan telah dipertandingkan antar sekolah. Misalnya sepak bola menjadi
sepakbola mini, bola voli menjadi bola voli mini, bola basket menjadi bola
basket mini, tenis menjadi tenis mini dan nomor-nomor pada cabang olahraga
atletik seperti nomot sprint 100 meter menjadi 60 meter, lempar lembing diganti
dengan lempar roket, sepak takraw diganti dengan kenchi/ bulu ayam, dan
nomor-nomor atletik yang digabung-gabung menjadi tri-lomba (lari sprint, lompat
kodok 3x dan lempar roket).
Kedua, modifikasi olahraga
tradisional/ rakyat yang kurang mendapat perhatian serius atau terabaikan oleh
guru-guru penjas. Banyak jenis olahraga tradisional yang sangat mengasyikkan
bagi siswa, seperti galasin/ gerobak sodor/ galah panjang, pecah piring,
enggrang, permainan karet, gotri, sambar elang, lari goni, lari guli, terompah bajak,
alip berondok, kuda tunggang, batu locak dan lain sebagainya. Kesemua jenis
permainan olahraga tradisional ini tetap memiliki dan mengarah pada peningkatan
aspek physical conditioning siswa, seperti kecepatan, kekuatan, daya tahan,
kelincahan, kelentukan, keseimbangan, daya ledak dan ketepatan. Bukankan
hakikat pembelajaran pendidikan jasmani meningkatkan kebugaran siswa?
Ketiga, melakukan kegiatan
aktivitas outbound yang yang lagi trend saat ini, dan sudah mulai dilaksanakan
oleh beberapa sekolah . Kita tidak perlu melakukan
aktivitas outbound ke lokasi wisata yang jauh dari sekolah, sehingga menguras
keuangan siswa. Karena aktivitas outbound dapat juga dilakukan di lokasi
sekolah dan yang pasti tidak kalah serunya dengan lokasi wisata. Jenis-jenis aktivitas
outbound yang dapat dilakukan di sekolah seperti field trap, water fall, blind
army, happy king, moving carpet, borgol hands, hole trap, step with stone,
dragon ball, mendulang emas, ban titian, pasak bumi, botol ajaib, tali kubus,
bola bisu, lari lambat, panjang-panjangan, bangku bisu, transfer air, pipa
bocor dan jenis lainnya. Sesekali jika memungkinkan, siswa dapat diajak ke alam
bebas untuk memainkannya serta ditambah dengan aktivitas low and high rope yang
lebih menantang, seperti flying fox, rafling, titian dewa, rafting, dan
tracking.
Keempat, upaya guru penjas
menciptakan olahraga baru yang relevan dengan tujuan pembelajaran penjas. Walau
terasa cukup berat, namun bukan mustahil guru-guru penjas dapat menciptakan
olahraga baru yang lebih kreatif lagi. Saat ini telah banyak guru-guru penjas
yang membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi, seperti Kelompok Kerja
Guru (KKG) Penjas, Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (Isori) dan banyak
perkumpulan lainnya. Perkumpulan-perkumpulan guru penjas ini telah bergera
melakukan pembahasan-pembahasan dan pemutakhiran model pembelajaran penjas.
Diharapkan langkah tepat yang sudah dilakukan dapat di follow-up lagi untuk
mewujudkan penciptaan jenis olahraga baru. Kenapa tak mungkin?
Sudah saatnya guru penjas berhenti mengeluhkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Jangan sampai, guru penjas melakukan aksi memusuhi kepala sekolah, hanya karena penolakan-penolakan atas proposal penyediaan sarana dan prasarana yang kita tawarkan. Sekali lagi, guru penjas tidak boleh menyerah dengan kondisi sekolah yang serba terbatas. Karena selama kita berfikir maka eksistensi dan kreativitas kita akan selalu ada. Yakinlah bahwa pelajaran penjas bukanlah pelajaran yang menjadi “anak tiri“ di sekolah. Karena selagi murid masih bersorak gembira atas kehadiran kita untuk membawakan pelajaran penjas, itu artinya menjadi tantangan bagi kita untuk menyahuti keinginan bermain para siswa.***
Sudah saatnya guru penjas berhenti mengeluhkan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Jangan sampai, guru penjas melakukan aksi memusuhi kepala sekolah, hanya karena penolakan-penolakan atas proposal penyediaan sarana dan prasarana yang kita tawarkan. Sekali lagi, guru penjas tidak boleh menyerah dengan kondisi sekolah yang serba terbatas. Karena selama kita berfikir maka eksistensi dan kreativitas kita akan selalu ada. Yakinlah bahwa pelajaran penjas bukanlah pelajaran yang menjadi “anak tiri“ di sekolah. Karena selagi murid masih bersorak gembira atas kehadiran kita untuk membawakan pelajaran penjas, itu artinya menjadi tantangan bagi kita untuk menyahuti keinginan bermain para siswa.***
*Nb: artikel ini bukan tulisan penulis, merupakan saduran dari tulisan seorang blogger
Sangat menarik ulasannya...
BalasHapus