Walau Berat, Ramadhan Tetaplah Ramadhan



Tanpa terasa sudah memasuki separuh kedua Ramadhan, bulan penuh kemuliaan berjalan dengan cepatnya. Bulan suci yang selalu dinanti-nanti oleh lebih satu miliar umat muslim di seluruh dunia ini tak sampai dua pekan kedepan bakal meninggalkan kita.

By the way, semua orang tentu punya cerita tersendiri dengan bulan suci yang penuh berkah  tersebut, entah itu cerita gembira, sedih bahkan haru. Tak terkecuali aku, berlatarbelakang lahir dan besar di komunitas muslim (Aceh), tetapi Ramadhan kali ini, dikarenakan tengah mengabdi sebagai pendidik didalam satu program pemerataan pendidikan, harus menjalankan ibadah puasa di kawasan dimana muslim sebagai minoritas.

Berpuasa di kawasan timur Indonesia  dan jauh dari sanak keluarga di bumi Iskandar Muda sana adalah pengalaman pertamaku. Menjalankan puasa di daerah yang penduduk muslimnya “hanya” 30% -- bahkan berdasarkan statistik terakhir yang dikutip dari Wikipedia hanya 28% -- merupakan sebuah tantangan tersendiri yang telah menguatkan diri sebagai muslim sejati.

Bersama 73 orang teman seperjuangan lainnya, aku tetap menjalankan puasa seperti biasanya. Walau kadang sedikit mengeluh, karena begitu kentaranya antara suasana Ramadhan di Aceh dan di sini. “seperti tidak sedang berpuasa di bulan Ramadhan, lebih berasa seperti sedang bepuasa sunat senin-kamis,” celetuk seorang teman, saat kami sedang berada di pusat keramaian kota. Ya, Sungguh pemandangan yang tak biasa, menjalankan  berpuasa dengan keadaan orang sekeliling makan dan minum dengan seenaknya.

Tapi mereka (baca: non muslim) tidak salah, tak ada aturan yang melarang mereka untuk tak makan dan minum di tempat umum pada bulan suci Ramadhan, seperti yang biasanya terjadi di daerah dimana muslim sebagai penduduk kebanyakan. Perlu diingat pula, mereka adalah mayoritas, tapi mereka bukannya berlaku seenaknya, mereka hanya melakukan aktivitas seperti biasanya tanpa “embel-embel” Ramadhan, dan itu wajar!

Positifnya, umat muslim yang sedikit ini makin kuat secara keimanan, berpuasa dimana anda adalah kaum mayoritas itu hal biasa, tapi disaat anda menjalankan puasa dimana sekeliling anda banyak yang tidak berpuasa itu hal yang berat, tapi yang menentukan seberapa kuatnya iman adalah anda sendiri. Alhamdulillah, aku berhasil menjaga puasa sampai hari ini dan Insya Allah hingga akhir Ramadhan nanti.

Tanpa disadari pula, jalinan silaturahmi sesama muslim terpupuk dengan romantis. Ungkapan bahwa sesama muslim adalah bersaudara itu benar adanya. Di sini, umat muslim memang kalah dalam skala kuantitas tapi tidak secara kualitas, dengan momentum Ramadhan ini makin mendekatkan satu sama lain. Islam itu indah!

***

Shock culture itu pasti ada, bahkan dari pertama aku menginjakkan kaki di tanah ini hingga sekarang lebih sepuluh bulan berada di sini, Terbiasa hidup dengan budaya yang penuh nilai-nilai keislaman, tapi kini harus menyesuaikan diri dengan segala kearifan lokal yang  kadang bertolak belakang dengan hati nurani. Tapi Ramadhan tetaplah Ramadhan, seberapa besar tantangan tetap harus dihadapi, rukun tetaplah rukun, tak ada tawar menawar!

Ramadhan yang tak biasa, tak ada  senyum Ayah dan Ibunda atau canda tawa kakak-adik dan sanak keluarga. Ingat rumah, pasti! sekuat-kuatnya dan segarang-garangnya lelaki pasti ingat rumah. Tak ingin memamerkan sisi kemanjaan sih, tapi inilah adanya. Lelaki lajang berumur 24 tahun yang pergi merantau dan mencari jati diri ini juga butuh kehangatan “rumah”.

Masih terngiang masakan bunda yang sampai hari ini belum ada tandingannya. Ikan sambal lado, ikan kuah asam keueung, rendang, opor ayam, sayur asam, sop dan masih banyak lagi, semuanya khas bunda. Maap bunda, jika aku tidak pernah bilang kalau aku sebenarnya rindu bunda, rindu keluarga, rindu rumah dan rindu masakan bunda. Aku hanya ingin terlihat tegar, aku tak ingin mendengar bunda menangisi aneuk agam (anak laki-laki) satu-satunya milikmu ini.

Lingkungan juga terasa berbeda, terbayang saat berpuasa di kampung halaman dengan segala gairah dan suasana meriahnya. Kini, tak ada sie meugang – adat orang Aceh yang mengkonsumsi daging sapi sehari sebelum Ramadhan dan sehari sebelum Syawal, tak ada pemandangan jajanan atau takjil khas Ramadhan disepanjang jalan, tak ada suasana malam yang seakan hidup dengan lantunan ayat suci Al-quran hingga menjelang fajar.

Tapi Allah maha adil, kerinduan kepada keluarga sedikit teredakan dengan adanya keluarga baru ku di sini. Dipelihara dengan kasih sayang layaknya anak sendiri, oleh keluarga muslim pasangan Bapak La Ode Kamaludin, seorang perantau dari Manggarai-Flores dan Ibu Nurul, seorang mualaf  yang terus belajar agama, lengkap dengan anak-anaknya yang masih kecil dan lucu yang memanggilku dengan sebutan “kaka”. Hanya Allah yang sanggup membalas segala kebaikan beliau.

Belum lagi teman-teman yang tak henti-hentinya membuatku tersenyum seakan hilang segala beban dan mengurangi kerinduan akan kampung halaman. Senasib dan sepenanggungan jauh diperantauan membuat solidaritas kami semakin kuat, jalinan pertemanan ini layaknya hubungan sebuah keluarga, terimakasih teman!

Di sini, masih di Indonesia, di sudut Lembata, Nusa Tenggara Timur. Ku jalani Ramadhan dengan segala keteguhan hati, tetap mengabdi walau berat, berharap masa depan yang lebih, semoga {}

=====

Salam dari Timur Indonesia
Lewoleba, 28 Juli 2013

Rizki Zulfitri
Peserta SM-3T Dikti asal LPTK Unsyiah Aceh, penempatan Kabupaten Lembata, NTT
Akun twitter: @RizkiZulfitri

1 komentar on "Walau Berat, Ramadhan Tetaplah Ramadhan"

  1. BANDAR MIX PARLAY TERBESAR DI INDONESIA HANYA DENGAN 1 USER ID SUDAH BISA BERMAIN SEMUA GAME.
    Join US ! Klik Link Di Bawah Ini ?

    Bandar Bola
    Situs Taruhan Bola
    Daftar

    BalasHapus