Muna, Bersabarlah Sayang!

Munawarah (Dok. Pribadi)
Banda Aceh, empat setengah tahun yang lalu, pertama kali ku kenal dirimu. Perkenalan singkat lewat seorang teman -- yang sudah kita anggap sebagai kakak sendiri, entahlah, itu suatu perkenalan biasa atau memang kita sedang dijodohkan. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku telah memperhatikanmu jauh sebelum hari itu, walau kita berbeda jurusan, aku sudah sering melihatmu menjadi pemandangan indah di kampus.

“Muna,” terdengar lembut suaramu saat kita berkenalan dulu. Gadis manis berlesung pipi, yang sepertinya tak henti memancarkan pesonanya. Tapi bukan aku namanya bila terlalu gampang jatuh cinta. Pembawaanku yang jaim dan pemalu membuat tak terjadi apa-apa hari itu, bahkan untuk sekedar nomor handphone!

Memang tak ada perasaan apa-apa saat itu, tak ada chemistry atau perasaan yang “beda”, semuanya murni teman. Tapi waktu berkata lain, berawal dari merajut persahabatan biasa, pelan-pelan rasa itu pun timbul, akhirnya aku yang super pemalu, lewat perjuangan yang luar biasa memberanikan diri untuk menyatakan cinta, tepat pada 26 Januari 2009, kita pun “meresmikan” hubungan kita.

Awalnya tak ada yang beda dengan hubungan “ala” mahasiswa lainnya, kita yang seumuran, berpacaran hanya sebagai teman berbagi cerita, memberi spirit lebih untuk cepat menyelesaikan studi. Tapi yang namanya hubungan, semakin lama terjalin akhirnya sampai ke titik dimana banyak pertanyaan timbul mempertanyakan masa depan hubungan tersebut, Mau sampai mana hubungan ini? Seriuskah?

Melewati hari demi hari bersama, suka maupun duka, dihiasi canda-tawa, pertengkaran kecil hingga pertengkaran yang hebat, bahkan putus-nyambung. Hubungan kita menjadi saksi wujud transformasi, dari mahasiswa yang tengah bermimpi mengejar cita-cita hingga menjadi seorang sarjana muda yang ingin terus mengejar mimpi, dari seorang remaja lugu yang sedang mencari jatidiri hingga menjadi seorang dewasa yang tengah menuju kematangan.

Selesai wisuda sarjana, aku mendapat kabar baik sekaligus kabar yang tidak mengenakkan untuk hubungan kita. Kabar baiknya, aku mendapat pekerjaan -- lebih tepatnya beasiswa pendidikan profesi – dalam program pusat dibidang pendidikan, dimana aku mendapat ikatan kontrak selama dua tahun (1 tahun pengabdian di daerah dan 1 tahun beasiswa pendidikan profesi). Kabar yang tidak mengenakkannya, aku harus menetap di daerah tersebut yang sudah jelas jauh dan tak akan pulang setahun lamanya.

“Kalau Ki tetap mau pergi berarti kita putus,” kata mu saat itu, yang lebih tepatnya berupa ultimatum agar aku tidak pergi. Tapi aku tetap bersikeras ingin pergi karena melihat ada masa depan di program ini. Setelah melewati perdebatan yang panjang, jalan tengah pun diambil.

“Ki boleh pergi tapi dengan satu syarat, kita harus tunangan sebelum Ki pergi, ini gak bisa ditawar lagi, ini uda keputusan keluarga Na,” ujar mu.

Bak petir disiang hari, aku terkulai lemas! Bagaimana mungkin, aku lelaki berusia 23 tahun -- saat itu -- yang hanya seorang sarjana muda tanpa tanda-tanda kemapanan, harus melamar seorang wanita yang sebenarnya sudah patut untuk dinikahi.

Setelah berkonsultasi dengan seorang teman, aku memberanikan diri menghubungi Ibunda dan berharap mendapat solusi terbaik. Syukurlah, aku mempunyai orangtua yang sangat mengerti keadaanku. Ibu dan Ayah menyanggupi untuk datang ke keluargamu yang jauh di Aceh Barat sana. Semua demi kenyamananku bertugas, demi kenyamananmu selama di kampung halaman sana, juga demi kebahagiaan kita berdua nantinya.

Kini telah kita masuki fase baru dalam hubungan ini, ya, suatu ikatan pertunangan yang tulus suci pada 8 Januari 2013. Pertunangan  yang dalam prosesnya terbilang unik, karena disaat harusnya aku bersama keluargaku datang menemui keluargamu, aku malah “absen”, karena aku keburu pergi mengabdi ke Nusa Tenggara Timur (NTT).

Setelah bertunangan, lepaslah masalah yang selama ini mengganggu pikiranku. Aku merasa “tenang” pergi jauh meninggalkanmu dan bisa berkonsentrasi menjalankan pengabdian, kau pun juga tenang melepasku “hanya” satu tahun lamanya. Menjalani hubungan LDR, membuat kita aman-aman saja, cincin yang yang melekat di jari manismu adalah jawabannya.

Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu, memilih jalur aman dengan bertunangan, berarti juga harus siap menerima konsekuensinya, melepas masa lajang. Bayanganku langsung abu-abu bila meningat ihwal pernikahan. Aku yang jauh dari kemapanan dan dari segi usia masih terlalu hijau -- bagi seorang laki-laki, membuatku butuh waktu.

Tapi “waktu” itu yang seakan kau tak punya, belum lagi tekanan dari lingkunganmu yang seakan tak berhenti bertanya kapan kau akan menikah. Aku bisa merasakan betapa menderitanya batinmu. Melihat sekelilingmu seakan menertawaimu, teman-teman masa kecilmu sudah pada menimang bayi. Sedang kau?

Inilah resikonya menjalin hubungan dengan pasangan yang seumuran, kita tak bisa menyalahkan siapa-siapa, toh, ini jalan yang sudah kita pilih. Cintalah yang membuat kita bertahan sampai detik ini.

Muna, ku yakin Allah telah menyiapkan masa depan yang indah buat kita berdua. Sayang, bersabarlah, karena semua kan indah pada waktunya, percayalah!


=====

Oleh: Rizki Zulfitri

Tidak ada komentar on "Muna, Bersabarlah Sayang!"

Leave a Reply