Munawarah (Dok. Pribadi) |
“Muna,” terdengar
lembut suaramu saat kita berkenalan dulu. Gadis manis berlesung pipi, yang
sepertinya tak henti memancarkan pesonanya. Tapi bukan aku namanya bila terlalu
gampang jatuh cinta. Pembawaanku yang jaim
dan pemalu membuat tak terjadi apa-apa hari itu, bahkan untuk sekedar nomor handphone!
Memang tak ada
perasaan apa-apa saat itu, tak ada chemistry
atau perasaan yang “beda”, semuanya
murni teman. Tapi waktu berkata lain, berawal dari merajut persahabatan biasa, pelan-pelan
rasa itu pun timbul, akhirnya aku yang super
pemalu, lewat perjuangan yang luar biasa memberanikan diri untuk menyatakan
cinta, tepat pada 26 Januari 2009, kita pun “meresmikan” hubungan kita.
Awalnya tak ada yang
beda dengan hubungan “ala” mahasiswa lainnya, kita yang seumuran, berpacaran
hanya sebagai teman berbagi cerita, memberi spirit
lebih untuk cepat menyelesaikan studi. Tapi yang namanya hubungan, semakin lama
terjalin akhirnya sampai ke titik dimana banyak pertanyaan timbul mempertanyakan
masa depan hubungan tersebut, Mau sampai mana hubungan ini? Seriuskah?
Melewati hari
demi hari bersama, suka maupun duka, dihiasi canda-tawa, pertengkaran kecil
hingga pertengkaran yang hebat, bahkan putus-nyambung.
Hubungan kita menjadi saksi wujud transformasi, dari mahasiswa yang tengah
bermimpi mengejar cita-cita hingga menjadi seorang sarjana muda yang ingin
terus mengejar mimpi, dari seorang remaja lugu yang sedang mencari jatidiri
hingga menjadi seorang dewasa yang tengah menuju kematangan.
Selesai wisuda
sarjana, aku mendapat kabar baik sekaligus kabar yang tidak mengenakkan untuk
hubungan kita. Kabar baiknya, aku mendapat pekerjaan -- lebih tepatnya beasiswa
pendidikan profesi – dalam program pusat dibidang pendidikan, dimana aku
mendapat ikatan kontrak selama dua tahun (1 tahun pengabdian di daerah dan 1
tahun beasiswa pendidikan profesi). Kabar yang tidak mengenakkannya, aku harus
menetap di daerah tersebut yang sudah jelas jauh dan tak akan pulang setahun
lamanya.
“Kalau Ki tetap mau
pergi berarti kita putus,” kata mu saat itu, yang lebih tepatnya berupa
ultimatum agar aku tidak pergi. Tapi aku tetap bersikeras ingin pergi karena
melihat ada masa depan di program ini. Setelah melewati perdebatan yang
panjang, jalan tengah pun diambil.
“Ki boleh pergi
tapi dengan satu syarat, kita harus tunangan sebelum Ki pergi, ini gak bisa
ditawar lagi, ini uda keputusan keluarga Na,” ujar mu.
Bak petir
disiang hari, aku terkulai lemas! Bagaimana mungkin, aku lelaki berusia 23
tahun -- saat itu -- yang hanya seorang sarjana muda tanpa tanda-tanda
kemapanan, harus melamar seorang wanita yang sebenarnya sudah patut untuk dinikahi.
Setelah
berkonsultasi dengan seorang teman, aku memberanikan diri menghubungi Ibunda
dan berharap mendapat solusi terbaik. Syukurlah, aku mempunyai orangtua yang
sangat mengerti keadaanku. Ibu dan Ayah menyanggupi untuk datang ke keluargamu yang
jauh di Aceh Barat sana. Semua demi kenyamananku bertugas, demi kenyamananmu
selama di kampung halaman sana, juga demi kebahagiaan kita berdua nantinya.
Kini telah kita masuki
fase baru dalam hubungan ini, ya, suatu
ikatan pertunangan yang tulus suci pada 8 Januari 2013. Pertunangan yang dalam prosesnya terbilang unik, karena disaat
harusnya aku bersama keluargaku datang menemui keluargamu, aku malah “absen”,
karena aku keburu pergi mengabdi ke Nusa Tenggara Timur (NTT).
Setelah
bertunangan, lepaslah masalah yang selama ini mengganggu pikiranku. Aku merasa
“tenang” pergi jauh meninggalkanmu dan bisa berkonsentrasi menjalankan
pengabdian, kau pun juga tenang melepasku “hanya” satu tahun lamanya. Menjalani
hubungan LDR, membuat kita aman-aman
saja, cincin yang yang melekat di jari manismu adalah jawabannya.
Tapi
kenyataannya tidak sesederhana itu, memilih jalur aman dengan bertunangan,
berarti juga harus siap menerima konsekuensinya, melepas masa lajang. Bayanganku
langsung abu-abu bila meningat ihwal
pernikahan. Aku yang jauh dari kemapanan dan dari segi usia masih terlalu hijau
-- bagi seorang laki-laki, membuatku butuh waktu.
Tapi “waktu” itu
yang seakan kau tak punya, belum lagi tekanan dari lingkunganmu yang seakan tak
berhenti bertanya kapan kau akan menikah. Aku bisa merasakan betapa
menderitanya batinmu. Melihat sekelilingmu seakan menertawaimu, teman-teman
masa kecilmu sudah pada menimang bayi. Sedang kau?
Inilah resikonya
menjalin hubungan dengan pasangan yang seumuran, kita tak bisa menyalahkan
siapa-siapa, toh, ini jalan yang sudah kita pilih. Cintalah yang membuat kita
bertahan sampai detik ini.
Muna, ku yakin
Allah telah menyiapkan masa depan yang indah buat kita berdua. Sayang,
bersabarlah, karena semua kan indah pada waktunya, percayalah!
=====
Oleh: Rizki
Zulfitri
Tidak ada komentar on "Muna, Bersabarlah Sayang!"