Berpose di jembatan Batugade, Timor Leste (Dok. pribadi) |
Hasilnya,
diluar perkiraan pemerintah Republik Indonesia, mengutip dari sumber Wikipedia, hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580
orang Timtim memilih merdeka dan menolak status khusus dengan otonomi luas yang
ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran
tersebut. Akhirnya pada tahun 2002, Indonesia dan dunia internasional mengakui
kedaulatan Timtim sebagai sebuah Negara yang dengan resmi bernama: Republik Demokratik Timor Leste,
Ya,
Timtim kini bukan lagi bahagian dari Indonesia. Kita sekarang punya tetangga
baru bernama Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa waktu yang lalu, penulis
bersama teman -- berjumlah enam orang, berkesempatan melakukan perjalanan (touring) mengunjungi daerah perbatasan
RI-Timor Leste di kawasan Mota’ain, kabupaten Belu, provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT).
Perjalanan
kami bermula dari kota Lewoleba, kabupaten Lembata, NTT. Kami sendiri adalah
peserta Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T)
asal Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang mengabdikan diri di kabupaten Lembata
selama 1 tahun. Selain untuk mengisi liburan, tour juga sebagai bentuk ekspresi kami anak muda bangsa, “menapak
tilasi” tiap jengkal tanah negerinya.
Show
pun dimulai, kamis (27/06/13), kami memulai perjalanan terlebih dahulu menuju
pulau Timor dengan menumpang kapal Ferry penyeberangan laut, KMP Ile Boleng
dengan rute Lewoleba-Kupang. Sebagaimana kita tahu Provinsi NTT adalah provinsi
kepulauan, terdapat lebih dari seribu pulau, baik yang berpenghuni maupun pulau
tak berpenghuni. Terkenal dengan sebutan bumi Flobamora, yakni akronim dari gugusan pulau besar di NTT, yakni
Flores, Sumba, Timor (tujuan kami) dan Alor.
Angkutan
laut menjadi primadona di NTT, selain karena relatif terjangkau juga lebih
efektif bagi yang membawa banyak muatan.
Rute Lewoleba-Kupang ditempuh dalam dalam waktu 12 jam. Berangkat dari
pelabuhan Fery kota Lewoleba sore pukul 17.00 Wita dan tiba esoknya di
pelabuhan kota Kupang pukul 05.00 Wita.
Setelah
menurunkan kendaraan roda dua yang khusus kami bawa dari kota Lewoleba, hari
itu kami memutuskan untuk bermalam di ibukota provinsi NTT tersebut. Maklum, faktor
kurangnya istirahat tidak memungkinkan kami untuk melakukan perjalanan jauh,
terlalu beresiko!
Esoknya,
sabtu (29/06/13), kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi
tujuan. Tepat pukul 07.00 Wita kami sudah stand
by di lobi penginapan, setelah
memeriksa keadaan kendaraan dan perlengkapan yang perlu dibawa, juga tak lupa
sarapan pagi secukupnya, kami pun memulai perjalanan dengan rute Kupang-Atambua
(Belu).
Jarak
Kupang-Atambua sekitar 270 km, dapat ditempuh dalam waktu sekitar enam sampai
tujuh jam. Cukup jauh memang, tapi sepanjang perjalanan mata seakan dimanjakan
oleh pemandangan yang asri. Hutan yang lebat dan perbukitan yang seakan tak ada
habisnya membuat kami takjub. Ya, jalan nasional di pulau Timor memang melewati
jalur lintas tengah pulau Timor. Jangan harap dapat menyaksikan pemandangan
pantai, tekstur jalan dataran tinggi yang
menanjak plus suhu dingin akan
menemani anda sepanjang perjalananan.
Melewati
Kolbano (Kabupaten Kupang), menikmati dinginnya Soe (Kabupaten Timor Tengah
Selatan) dan bersantap siang di Kefamenanu (Kabupaten Timor Tengah Utara), tepat
pukul 16.00 Wita, akhirnya kami tiba di kota Atambua (Kabupaten Belu). Kota yang
sempat menjadi setting film “Atambua 35° Celcius” karya sutradara
Riri Riza ini dahulu merupakan daerah pengungsian warga Timtim yang pro
integrasi, setia menjadi warga Negara Indonesia.
di tugu Pancasila Kota Atambua (Dok. pribadi) |
Sempat
terbayang dibenak kami Atambua sebagai kawasan perbatasan adalah kota yang
tandus, kumuh dan kesan negatif lainnya. Tapi semua sirna setelah kami
mengitari kota Atambua, tampak gedung-gedung megah di seputaran kota, tata kota
yang rapi dan bersih membuat betah. Di salah satu persimpangan jalan terdapat
monumen Adipura, ya, kota Atambua pada tahun 2011 lalu mendapat anugerah
Adipura sebagai kota terbersih kategori kota kecil, hebat!
Tapi
kami belumlah klimaks, daerah
perbatasan masih sekitar 30 km lagi dari kota Atambua. Tak ingin memaksakan
diri karena hari yang semakin gelap, kami memutuskan menginap di kota Atambua.
Perjalanan pun kami lanjutkan esok paginya, tepat pukul 07.00 Wita kami
bergerak menuju daerah perbatasan tersebut. Ada dua jalur yang mengarah ke
daerah perbatasan, yakni jalur pantai dan jalur perbukitan, kami pun memilih
jalur perbukitan karena katanya lebih dekat.
Lagi-lagi
suhu sejuk menjadi teman, dan setelah “berjalan” sekitar 30 menit akhirnya kami
tiba di daerah bernama Mota’ain. Mota’ain adalah desa di Timor Leste yang
berbatasan langsung dengan desa Motamasin, Kabupaten Belu. Tepat di depan pintu
gerbang perbatasan selain terdapat Pos TNI juga terdapat kantor imigrasi khusus
perbatasan, sebuah pasar yang nampaknya sudah tidak aktif lagi, pelayanan jasa money changer dan terminal angkutan
umum.
di gerbang masuk Negara Indonesia (Dok. Pribadi) |
Rasanya
tidak cukup bila hanya hanya berada di sekitar gerbang perbatasan. Setelah
memarkirkan kendaraan di sekitar pos TNI, kami memberanikan diri untuk meminta
izin kepada Tentara penjaga Pos perbatasan untuk melangkah melewati garis
perbatasan. Ya, kami mendapatkan izin, ini kali pertama bagi kami menginjakkan
kaki di “luar negeri”, lebay!
Tak
jauh dari gerbang perbatasan milik Indonesia, terdapat jembatan untuk melintas melewati
sebuah sungai, Itulah jembatan yang menjadi pintu masuk ke Negara Timor Leste. “Bem Vindo A Timor Leste”, kalimat dari
bahasa Portugis yang berarti “Selamat Datang di Timor Leste”, kalimat tersebut
menyapa kami dari atas jembatan. Lokasi ini juga dikenal dengan sebutan Batugade atau batu besar.
Foto bersama Tentara Timor Leste (Dok. Pribadi) |
Tak
jauh dari jembatan, terdapat gedung imigrasi perbatasan milik pemerintah Timor
Leste. Di gedung yang cukup megah dan luas ini kami sempat berputar-putar dan
mengambil beberapa gambar. Kami juga sempat berbincang-bincang dengan petugas
dan Tentara perbatasan Timor Leste, ya, walaupun telah sebelas tahun lamanya merdeka
mereka masih fasih berbahasa Indonesia meski dengan logat tetun -- bahasa resmi Timor Leste -- yang kental.
Puas
di tanah Timur Lorosae, hari itu juga kami memutuskan untuk pulang ke
Atambua dan melanjutkannya ke ibukota provinsi, Kupang dengan diliputi perasaan
bangga. Sebuah perjalananan hebat teman, perjalanan yang menambah wawasan
kebangsaan kita, akan menjadi kenangan tak terlupakan.
Banyak berjalan, banyak melihat,
banyak tahu dan banyak pengalaman.
Salam
maju bersama!
======
Rizki Zulfitri
Pecinta
traveler
Peserta
SM-3T asal LPTK Universitas Syiah Kuala, Aceh
Twitter:
@RizkiZulfitri
Tidak ada komentar on "Our Journey: Mota’ain, Perbatasan Indonesia-Timor Leste"