Our Journey: Mota’ain, Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Berpose di jembatan Batugade, Timor Leste (Dok. pribadi)
Sejarah mencatat pada tanggal 30 Agustus tahun 1999 lalu, Jajak Pendapat atau yang oleh pendukung antiintegrasi lebih dikenal dengan sebutan referendum kemerdekaan, dilaksanakan di provinsi termuda Indonesia kala itu, Timor Timur (Timtim). Proses Jajak pendapat yang mendapat pengawasan langsung dari PBB itu dilaksanakan serentak di seluruh Timtim dan daerah di luar Timtim dimana warga dan keturunan Timtim berada.

Hasilnya, diluar perkiraan pemerintah Republik Indonesia, mengutip dari sumber Wikipedia, hasil Jajak Pendapat menunjukkan bahwa sekitar 78,5% atau sekitar 344.580 orang Timtim memilih merdeka dan menolak status khusus dengan otonomi luas yang ditawarkan Pemerintah dan 21,5 % atau sekitar 94.388 orang menerima tawaran tersebut. Akhirnya pada tahun 2002, Indonesia dan dunia internasional mengakui kedaulatan Timtim sebagai sebuah Negara yang dengan resmi bernama: Republik Demokratik Timor Leste,

Ya, Timtim kini bukan lagi bahagian dari Indonesia. Kita sekarang punya tetangga baru bernama Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa waktu yang lalu, penulis bersama teman -- berjumlah enam orang, berkesempatan melakukan perjalanan (touring) mengunjungi daerah perbatasan RI-Timor Leste di kawasan Mota’ain, kabupaten Belu, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perjalanan kami bermula dari kota Lewoleba, kabupaten Lembata, NTT. Kami sendiri adalah peserta Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) asal Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang mengabdikan diri di kabupaten Lembata selama 1 tahun. Selain untuk mengisi liburan, tour juga sebagai bentuk ekspresi kami anak muda bangsa, “menapak tilasi” tiap jengkal tanah negerinya.

Show pun dimulai, kamis (27/06/13), kami memulai perjalanan terlebih dahulu menuju pulau Timor dengan menumpang kapal Ferry penyeberangan laut, KMP Ile Boleng dengan rute Lewoleba-Kupang. Sebagaimana kita tahu Provinsi NTT adalah provinsi kepulauan, terdapat lebih dari seribu pulau, baik yang berpenghuni maupun pulau tak berpenghuni. Terkenal dengan sebutan bumi Flobamora, yakni akronim dari gugusan pulau besar di NTT, yakni Flores, Sumba, Timor (tujuan kami) dan Alor.

Angkutan laut menjadi primadona di NTT, selain karena relatif terjangkau juga lebih efektif  bagi yang membawa banyak muatan. Rute Lewoleba-Kupang ditempuh dalam dalam waktu 12 jam. Berangkat dari pelabuhan Fery kota Lewoleba sore pukul 17.00 Wita dan tiba esoknya di pelabuhan kota Kupang pukul 05.00 Wita.

Setelah menurunkan kendaraan roda dua yang khusus kami bawa dari kota Lewoleba, hari itu kami memutuskan untuk bermalam di ibukota provinsi NTT tersebut. Maklum, faktor kurangnya istirahat tidak memungkinkan kami untuk melakukan perjalanan jauh, terlalu beresiko!

Esoknya, sabtu (29/06/13), kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke lokasi tujuan. Tepat pukul 07.00 Wita kami sudah stand by di lobi penginapan, setelah memeriksa keadaan kendaraan dan perlengkapan yang perlu dibawa, juga tak lupa sarapan pagi secukupnya, kami pun memulai perjalanan dengan rute Kupang-Atambua (Belu).

Jarak Kupang-Atambua sekitar 270 km, dapat ditempuh dalam waktu sekitar enam sampai tujuh jam. Cukup jauh memang, tapi sepanjang perjalanan mata seakan dimanjakan oleh pemandangan yang asri. Hutan yang lebat dan perbukitan yang seakan tak ada habisnya membuat kami takjub. Ya, jalan nasional di pulau Timor memang melewati jalur lintas tengah pulau Timor. Jangan harap dapat menyaksikan pemandangan pantai, tekstur jalan dataran tinggi yang  menanjak plus suhu dingin akan menemani anda sepanjang perjalananan.

Melewati Kolbano (Kabupaten Kupang), menikmati dinginnya Soe (Kabupaten Timor Tengah Selatan) dan bersantap siang di Kefamenanu (Kabupaten Timor Tengah Utara), tepat pukul 16.00 Wita, akhirnya kami tiba di  kota Atambua (Kabupaten Belu). Kota yang sempat menjadi setting film “Atambua 35° Celcius” karya sutradara Riri Riza ini dahulu merupakan daerah pengungsian warga Timtim yang pro integrasi, setia menjadi warga Negara Indonesia.

di tugu Pancasila Kota Atambua (Dok. pribadi)
Sempat terbayang dibenak kami Atambua sebagai kawasan perbatasan adalah kota yang tandus, kumuh dan kesan negatif lainnya. Tapi semua sirna setelah kami mengitari kota Atambua, tampak gedung-gedung megah di seputaran kota, tata kota yang rapi dan bersih membuat betah. Di salah satu persimpangan jalan terdapat monumen Adipura, ya, kota Atambua pada tahun 2011 lalu mendapat anugerah Adipura sebagai kota terbersih kategori kota kecil, hebat!

Tapi kami belumlah klimaks, daerah perbatasan masih sekitar 30 km lagi dari kota Atambua. Tak ingin memaksakan diri karena hari yang semakin gelap, kami memutuskan menginap di kota Atambua. Perjalanan pun kami lanjutkan esok paginya, tepat pukul 07.00 Wita kami bergerak menuju daerah perbatasan tersebut. Ada dua jalur yang mengarah ke daerah perbatasan, yakni jalur pantai dan jalur perbukitan, kami pun memilih jalur perbukitan karena katanya lebih dekat.

Lagi-lagi suhu sejuk menjadi teman, dan setelah “berjalan” sekitar 30 menit akhirnya kami tiba di daerah bernama Mota’ain. Mota’ain adalah desa di Timor Leste yang berbatasan langsung dengan desa Motamasin, Kabupaten Belu. Tepat di depan pintu gerbang perbatasan selain terdapat Pos TNI juga terdapat kantor imigrasi khusus perbatasan, sebuah pasar yang nampaknya sudah tidak aktif lagi, pelayanan jasa money changer dan terminal angkutan umum.

di gerbang masuk Negara Indonesia (Dok. Pribadi)
Rasanya tidak cukup bila hanya hanya berada di sekitar gerbang perbatasan. Setelah memarkirkan kendaraan di sekitar pos TNI, kami memberanikan diri untuk meminta izin kepada Tentara penjaga Pos perbatasan untuk melangkah melewati garis perbatasan. Ya, kami mendapatkan izin, ini kali pertama bagi kami menginjakkan kaki di “luar negeri”, lebay!

Tak jauh dari gerbang perbatasan milik Indonesia, terdapat jembatan untuk melintas melewati sebuah sungai, Itulah jembatan yang menjadi pintu masuk ke Negara Timor Leste. “Bem Vindo A Timor Leste”, kalimat dari bahasa Portugis yang berarti “Selamat Datang di Timor Leste”, kalimat tersebut menyapa kami dari atas jembatan. Lokasi ini juga dikenal dengan sebutan Batugade atau batu besar.
Foto bersama Tentara Timor Leste (Dok. Pribadi)
Tak jauh dari jembatan, terdapat gedung imigrasi perbatasan milik pemerintah Timor Leste. Di gedung yang cukup megah dan luas ini kami sempat berputar-putar dan mengambil beberapa gambar. Kami juga sempat berbincang-bincang dengan petugas dan Tentara perbatasan Timor Leste, ya, walaupun telah sebelas tahun lamanya merdeka mereka masih fasih berbahasa Indonesia meski dengan logat tetun -- bahasa resmi Timor Leste -- yang kental.

Puas di tanah Timur Lorosae, hari itu juga kami memutuskan untuk pulang ke Atambua dan melanjutkannya ke ibukota provinsi, Kupang dengan diliputi perasaan bangga. Sebuah perjalananan hebat teman, perjalanan yang menambah wawasan kebangsaan kita, akan menjadi kenangan tak terlupakan.

Banyak berjalan, banyak melihat, banyak tahu dan banyak pengalaman.

Salam maju bersama!

======

Rizki Zulfitri
Pecinta traveler
Peserta SM-3T asal LPTK Universitas Syiah Kuala, Aceh
Twitter: @RizkiZulfitri

Tidak ada komentar on "Our Journey: Mota’ain, Perbatasan Indonesia-Timor Leste"

Leave a Reply