Bukan Akhir Sebuah Pengabdian (Catatan Akhir Seorang Pendidik Muda di Pedalaman NTT)



Dok. Pribadi
"Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa."

Alunan lagu Himne Guru (Pahlawan Tanpa Tanda Jasa) tersebut dinyanyikan dengan khidmat oleh seluruh siswa-siswaku. Suasana pun hening di ruang yang sederhana itu, air mata ku pun keluar deras tak terbendung. Sesekali ku kuatkan diri melihat wajah-wajah lugu yang tepat berada di hadapan, mereka pun sedang menyeka-nyeka air matanya. Tak kuat rasanya!

Hari itu senin (16/09/2013), hari terakhir aku berada di SMPN 2 Nagawutung. Tak terasa hampir setahun sudah berada di sini, Melewati hari-hari penuh suka maupun duka, kini saatnya mengucapkan sayonara.

Kepala sekolah, dewan guru dan siswa secara spontan menyiapkan acara sederhana untuk perpisahan sekaligus pelepasan bagiku. Acara yang sebenarnya membuat langkah kakiku semakin berat meninggalkan semua yang ada di sekolah ini.
Momen-momen paling emosional dalam hidup saat harus mengucapkan kata-kata perpisahan. Berat rasanya, tapi bukankah hidup harus terus berjalan. Bukankah sedari awal aku sudah tahu, aku tak lama berada di sini, hanya setahun, lalu kembali pulang!

***

Waktu berjalan dengan cepatnya, rasanya belum lama aku berada di sini. Mengabdi sebagai seorang pendidik di sekolah yang berada di pedalaman Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bermula dari mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), yakni suatu program pemerintah pusat dalam mewujudkan pemerataan pendidikan di Indonesia, aku “terdampar” di sebuah desa yang terkenal dengan sebutan desa Boto. Sebuah desa yang tak pernah terbesit dalam khayal, bahkan dalam mimpi terliar sekalipun.

Sebuah desa yang masyarakatnya menggantungkan hidup dengan bercocok tanam. Sebuah desa yang seluruh penduduknya beragama Katolik, sedangkan aku adalah seorang muslim yang berasal dari daerah yang terkenal fanatik dengan keislamannya, Aceh. Tapi aku diterima dengan baik, keramah-tamahan mereka membuat ku nyaman.

Hidup di tengah-tengah lingkungan non muslim aku merasa baik-baik saja. Tak pernah ada teror, intimidasi, ajakan-ajakan untuk berpindah agama atau apapun. Semuanya menghargai keberadaanku dan menganggap aku bahagian dari mereka (sebagai anggota masyarakat). Kadang membuatku berpikir, alangkah indahnya negeri ini jika semua daerah di Indonesia seperti di tanah pengabdianku ini.
Dok. Pribadi


Keadaan di sekolah juga sama, dalam pendidikan semuanya jadi satu. Para dewan guru dan siswa sangat welcome dengan kedatanganku. Semuanya menyambutku dengan tangan terbuka, bahkan aku punya panggilan sayang di sini, “Pa Ris,” begitu biasa namaku disebut di lingkungan sekolah, bukti aku begitu diterima di sekolah ini.

Aku sadar, siswa-siswaku berhak mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Harusnya tak ada perbedaan kualitas pendidikan antara Jawa, Sumatera dengan kawasan lainnya di Indonesia, jangan ada kesenjangan, itulah alasan mengapa aku “diutus” di sini.

Tapi aku bukanlah malaikat yang turun dari langit untuk memajukan pendidikan dalam waktu singkat. Aku hanyalah seorang sarjana muda yang saat pertama kali menginjakkan kaki di sini masih nol pengalaman. Aku hanya membantu sebatas kemampuanku dengan tulus ikhlas.

Tak peduli anak didikku itu seorang muslim atau nasrani, semua sama bagiku. Ya, kini aku telah berubah menjadi pribadi yang toleran. Karakter yang selama ini tak ku dapati di daerah asalku. Dahulu aku terbiasa hidup sebagai mayoritas, aku merasa agamaku adalah yang terbaik, aku seakan lupa hak orang lain yang berbeda pandangan agama denganku.

Melihat begitu baiknya perlakuan mereka (baca: non muslim) kadang membuatku malu. Keegoanku yang selalu melihat mereka dengan sebelah mata selama ini salah, mereka punya budi pekerti yang sangat mulia, mungkin lebih mulia dari orang-orang yang katanya seiman denganku.

Aku juga sadar Indonesia bukan hanya Jawa atau Sumatera, Indonesia juga bukan hanya milik agama tertentu. Indonesia adalah bangsa besar yang kaya akan keberagaman yang harusnya kita jaga bersama. Banyak pelajaran yang bisa ku bawa pulang dari perantauan selama setahun ini.

***
Masih terniang-niang canda tawa siswa-siswaku, indahnya saat kita sama-sama berdoa kepada Tuhan kita masing-masing sebelum memulai pelajaran. Teringat saat kalian mengantar buah-buahan dan sayur-sayuran ke rumahku. Teringat akan sapaan ramah kalian saat kita bertemu di luar jam sekolah. Teringat saat kalian menolongku saat ku butuh bantuan. Ya, Semuanya hanya tinggal kenangan.

Rasa sedih ini adalah manusiawi, tak peduli apa suku, agama dan ras. Bila kita sudah membaur dan ada rasa cinta di dalamnya semua menjadi satu. Satu sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan satu dalam Indonesia.

Kini, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik buat anak-anak didikku. Seperti kata-kata perpisahanku dihari itu. “Anak-anakku jadilah apa yang kalian mau, kejar cita-cita kalian. Kalian ingin  menjadi polisi maka jadilah polisi, kalian ingin menjadi guru maka jadilah guru. Tapi kalaupun kalian jadi petani, jadilah petani yang pintar, petani yang cerdas,”

Bagiku ini bukan akhir dari sebuah pengabdian, ini hanyalah awal permulaan yang manis. Perjalananku baru dimulai, masih banyak yang bisa ku lakukan untuk negeri ini walaupun bukan di sini lagi, mungkin di tempat lainnya. Terimakasih Tuhan telah menciptakan aku di negeri ini…Aku cinta negeri ini, aku cinta Indonesia!

=====

Rizki Zulfitri
Guru Penjaskes
Peserta SM-3T asal LPTK Unsyiah, Aceh penempatan Kabupaten Lembata, NTT

1 komentar on "Bukan Akhir Sebuah Pengabdian (Catatan Akhir Seorang Pendidik Muda di Pedalaman NTT)"

  1. Luar biasa pak guru.. trima kasih sudah mengabdi di kampung halaman kami..

    BalasHapus