Kos Putroe Aceh (Foto: Irvan) |
“Orang berilmu dan beradab tidak
akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
Pasti anda sudah sering mendengar kutipan kata-kata mutiara dari Imam Syafii di atas , ya, kata-kata tersebut diselipkan seorang penulis terkenal, Ahmad Fuadi dalam Mahakarya-nya Novel best seller, Negeri 5 Menara. Kata-kata tadi mungkin telah mengilhami banyak orang untuk kuat dalam masa perantauan,termasuk perempuan-perempuan muda asal Aceh yang kini tengah mengabdi di pelosok Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT)
Tepat di kawasan
Wangatoa Bawah, Kelurahan Selandoro, Kota Lewoleba, Kecamatan Nubatukan,
Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, tinggallah belasan wanita muda yang berasal
dari provinsi paling barat Indonesia, Aceh. Mereka menghuni kamar kos-kosan yang
diberi nama, Kos Putroe Aceh, milik seorang PNS di lingkungan Kementerian Agama
kabupaten Lembata, bernama Sultan Nasir.
Pasti sebagian
dari anda berpikir, untuk apa belasan wanita tersebut jauh meninggalkan daerah
asalnya hingga “terdampar” di Lembata? Ya, mereka kini tengah mengabdi untuk
Nusa dan Bangsa dalam program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan
Tertinggal (SM-3T). Yakni sebuah program dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Dikti) yang mempersiapkan tenaga pendidik profesional, dengan
memberikan pengalaman lapangan kepada peserta di daerah 3T selama 1 tahun,
sebelum dimantapkan lewat program Pendidkan Profesi Guru (PPG).
Suatu pekerjaan mulia
yang patut diapresiasi, maju sebagai garda terdepan berjuang melawan kebodohan.
Mereka adalah wujud pendidik berdedikasi tinggi yang mengerahkan segala ilmu
dan tenaganya demi meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, terkhusus di
daerah 3T.
Mereka semua
adalah teman seperjuangan penulis, kebanyakan dari mereka bertempat tugas di
kecamatan Nubatukan -- pusat pemerintahan kabupaten Lembata -- dan sekitarnya.
Mereka mengambil langkah berani dengan menjalani hari-hari di kosan, bukan hal
baru memang, karena mereka semua adalah sarjana muda yang masih lazim dengan “dunia”
kos-kosan.
Ada cerita
menarik dibalik pemberian nama kosan tersebut. Awalnya sebelum anak-anak Aceh
menempati kamar-kamar kos-kosan tersebut, pemilik kos belum mempunyai nama yang
jelas untuk kompleks kosan tersebut --yang kala itu memang belum lama resmi ditempati.
Pak Nasir sebagai pemilik kos menyadari pentingnya identitas, setelah berembuk dengan
pentolan-pentolan kos, akhirnya disepakati kosan miliknya dengan resmi diberi nama:
Kos Putroe Aceh.
Kata Putroe berasal dari Bahasa Aceh, yang
bila terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “Putri” atau “Wanita”. Kata Putroe dimasa lalu biasanya disematkan
bagi seorang Putri Raja atau Istri seorang Raja Aceh yang sedang berkuasa.
Dewasa ini, penggunaan kata “Putroe” lebih umum digunakan untuk menunjukkan
seorang wanita atau gadis Aceh. Filosofinya, penggunaan nama “Putroe” sebagai
penghormatan bagi penghuni kos yang merupakan seorang guru dan juga tamu di
tanah Lembata.
Sekilas tak ada
yang istimewa dari kosan Putroe Aceh,
kamar yang satu dengan kamar lainnya hanya berbataskan dinding beton, ukuran
kamarnya tidaklah luas hanya 3x3 meter plus
kamar mandi di dalamnya, lantai beralaskan keramik, ditambah dengan teras
dan halamannya yang sempit, intinya tidak jauh beda dengan kos-kosan lainnya.
Tapi coba
tanyakan kepada para putroe, apa arti
Kos Putroe Aceh bagi mereka? Di langit-langit kamar itulah terlukis indah
mimpi-mimpi mereka, dinding-dinding kamar jadi tempat bersandar dikala lelah, diruang
yang sempit itulah mereka belajar akan kerasnya hidup. Menikmati hari penuh
suka dan duka, senasib sepenanggungan, jauh dari keluarga tercinta, membuat
tali persabatan antar mereka laksana sebuah keluarga.
Bisa jadi kos Putroe
Aceh adalah miniatur-nya Aceh di Lembata, bila kita amati tempat masing-masing
putroe berasal, mulai dari Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Tengah,
Langsa, Aceh Barat, Aceh Selatan hingga Aceh Singkil. Walaupun berbeda-beda
daerah dan etnis -- ingat Aceh bukan hanya suku Aceh -- tak membuat mereka
terpecah belah, mereka tak latah dengan isu-isu primordialisme, mereka semuanya
menyatu. Kompak, kata yang pas untuk mereka, suatu hal yang memang patut ditiru!
Baru-baru ini penulis
berkesempatan mengunjungi (lagi) Kos Putroe Aceh, pada kamis (08/08/2013),
bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H. Kesan berbeda langsung
terasa saat berada di dalam kompleks kos Putroe Aceh, Suasana hangat langsung
terasa, tampak senyum ramah dara-dara
(gadis) Aceh, belum lagi hidangan lebaran khas Aceh yang membuat betah, sedikit
meredakan kerinduan akan kampung halaman.
“seperti sedang
berada di gampoeng (kampung atau
desa) di Aceh sana,” gumam penulis dalam
hati.
Kini, hanya
tinggal menghitung hari kebersamaan para “putroe” akan berakhir, September
nanti KM Bukit Siguntang akan menjemput mereka semua untuk pulang kembali ke
kampung halaman. Perantauan ini akan berakhir, entah bagaimana perasaan mereka
nanti, tapi sejarah telah mencatat pernah ada sekumpulan perempuan hebat yang
merajut asa di tanah Lembata, di sana, di kos Putroe Aceh.[]
=====
Lewoleba,
9 Agustus 2013
Oleh: Rizki Zulfitri
Peserta SM-3T
asal LPTK Universitas Syiah Kuala Aceh, Penempatan Kabupaten Lembata, NTT
Twitter: @RizkiZulfitri
Tidak ada komentar on "Kos Putroe Aceh, “Gampoeng” Aceh di Lembata"