sepasang pedang VOC (foto: tribunnews.com) |
Ditemukannya dua
peninggalan sejarah tersebut kembali mengingatkan kita akan kebesaran sejarah
Aceh dimasa lalu. Dikutip dari Wikipedia,
di Aceh dahulunya ada sebuah kerajaan Islam bernama Kesultanan Aceh Darussalam
yang memiliki sejarah sangat panjang (1496-1903 M). Kesultanan Aceh merupakan
kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14.
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukkan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie dan Nakur. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh).
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukkan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie dan Nakur. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera yang berpusat di Kutaraja (Banda Aceh).
Terukir dalam
sejarah kemegahan masa lampau Aceh. Terutama karena kemampuan Kesultanan Aceh
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmen dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuan menjalin hubungan
diplomatik dengan Negara lain.
Aceh Darussalam mengalami
kejayaan pada zaman kekuasaan Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sultan
Aceh ke-19). Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba di Aceh pada
masa itu, kekuasaan Aceh pada zaman
itu mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak.
Belanda datang
dan menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 atau yang dikenal dengan
sebutan Perang Aceh. Kesultanan Aceh pun runtuh pada tahun 1904 setelah Belanda
berhasil menguasai Kutaraja. Sultan Aceh terakhir, Sultan M. Dawud menyerahkan
diri kepada Belanda setelah istri, anak serta ibundanya terlebih dahulu
ditangkap Belanda.
Potensi Wisata Sejarah
Melihat begitu
panjang sejarah Kesultanan Aceh ironisnya hanya sedikit peninggalan sejarah Kesultanan
Aceh yang masih bisa kita lihat hingga
kini. Contohnya saja Masjid Raya Baiturrahman, Taman Putroe Phang, Gunongan, kompleks
pemakaman Kherkoff Peucut, Lonceng Cakra Donya, Pinto Khop, Perpustakaan Tanoh
Abee, Masjid Tua Indrapuri, Benteng Indra Patra, Benteng Iskandar Muda, Pendopo,
Makam Syiah Kuala, Makam Laksamana Malahayati dan Makam Iskandar Muda.
Sebenarnya masih
banyak lagi aset peninggalan masa lampau yang hingga kini belum terjamah dan
kurang mendapat perhatian pemerintah. Sebut saja situs-situs artefak
peninggalan Kerajaan Lamuri di Aceh Besar, Makam-makam kuno di Kampung Pande
(dipercaya sebagai Makam Tuanku Di Kandang dan Makam Putroe Ijo), Mercusuar
Portugis di Pulau Breueh dan masih banyak lagi.
Ada juga tempat-tempat
peninggalan sejarah kesultanan Aceh yang selama ini dikelola oleh pemerintah setempat
sebagai cagar budaya tapi kondisinya terbengkalai. Contohnya Benteng Indra
Patra dan benteng Iskandar Muda yang menjadi saksi bisu kekuatan militer
Kesultanan Aceh kini kondisinya tidak terawat. Kondisi bangunan dipenuhi lumut bahkan ada tembok yang hancur. Miris!
Padahal bila
dikelola dengan baik aset wisata sejarah ini bisa menjadi sumber pendapatan
daerah lewat kedatangan wisatawan. Selama ini Aceh terkesan lebih mengutamakan
promosi wisata peninggalan tsunami ataupun wisata bahari. Kalaupun ada usaha
mengakomodir paket wisata yang memadukan antara wisata tsunami, wisata bahari
dan wisata sejarah Aceh pasti porsi wisata sejarah sangat kecil
Wisata sejarah
sangat berkaitan erat dengan pengelolaan pusaka (heritage) sebagai warisan kebudayaan masa lalu atau peninggalan
alam. Di Indonesia masalah heritage
ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dijelaskan
dalam undang-undang tersebut benda cagar budaya baik buatan manusia maupun
benda alam adalah benda yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Wisata aset sejarah Kesultanan Aceh sangat potensial dalam pengembangan
pariwisata. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pariwisata pusaka -- dapat diartikan
sebagai sejarah -- adalah bagian dari industri pariwisata yang paling maju
perkembangannya (Jamieson 1998; Boniface & Fowler, dalam Cahyadi, 2009).
Generasi Muda Harus “Melek” Sejarah
Percuma
mendatangkan banyak wisatawan jika masyarakatnya sendiri “buta” akan sejarahnya.
Menghidupkan pariswisata yang bermotif sejarah tentu menuntut masyarakat sekitar
menjadi referensi sejarah. Para wisatawan pastinya ingin banyak tahu cerita
tentang tempat sejarah yang dikunjunginya.
Masyarakatnya terkhusus
generasi muda harus diberikan pendidikan sejarah lokal. Selama ini pengetahuan
sejarah lokal hanya didapat dari mulut ke mulut. Kurangnya pengetahuan dan
informasi membuat generasi muda seakan menyepelekan sejarah. Banyaknya aset
sejarah yang terbengkalai, dijual, dicuri ataupun dirusak salah satunya disebabkan
masyarakatnya tidak paham sejarah. Hal seperti ini terjadi di seluruh Indonesia.
Apabila masyarakat “melek” akan sejarah pasti mereka lebih menghargai dan
menjaga pusaka peninggalan sejarah disekitarnya.
Sejarahwan,
masyarakat dan pihak-pihak terkait harus bekerjasama dalam upaya melestarikan
aset-aset sejarah. Harus ada solusi. Buat anak muda sedekat mungkin dengan
sejarah. Bisa dengan memperbanyak buku-buku tentang sejarah lokal yang dikemas
dengan menarik agar menarik minat anak muda. Gunakan media jejaring sosial seperti
Facebook dan Twitter untuk mengkampanyekan kesadaran pentingnya mengerti sejarah.Perbanyak
website atau blog yang membahas kisah-kisah dan peninggalan sejarah. Bentuk
komunitas masyarakat peduli aset sejarah.
Jangan sampai ada
lagi pusaka yang dirusak, dikotori, dijualbelikan, ditelantarkan. Harus ada
sanksi tegas untuk pelaku. Lestarikan warisan sejarah nenek moyang karena
disanalah tersimpan masa lalu gemilang. Kalau
bukan sekarang kapan lagi? Kalau bukan kita siapa lagi?
=====
Rizki Zulfitri
Tidak ada komentar on "Lestarikan Aset Wisata Sejarah Aceh!"