PSSI |
Lalu ada
Syahrizal (Persija Jakarta) dan Syakir Sulaiman (Persiba Balikpapan) yang kini
tengah bergabung bersama timnas U-23 arahan Rahmad Darmawan. Mereka masih
menjalani seleksi ketat bersaing menjadi pemain yang dibawa ke Sea Games.ke 27
di Myanmar Desember nanti.
Bak oase,
prestasi pemain-pemain di atas menggairahkan kembali masyarakat sepak bola Aceh.
Kerinduan akan adanya pemain asal Aceh memperkuat tim garuda diajang
internasioal telah terpenuhi. Ya, setelah masa-masa keemasan Ismed Sofyan
berakhir belum ada pemain asal Serambi
Mekkah yang mampu menembus skuad nasional.
Pertanyaannya,
benarkah dengan keberhasilan beberapa pesepak bola muda Aceh itu menembus
timnas adalah merupakan kebangkitan sepak bola Aceh? Jawabannya: tidak
sepenuhnya benar.
Untuk mengetahui
keberhasilan suatu daerah dalam usaha memajukan olahraganya tentu punya tolak
ukur yang jelas. Salah satunya adalah melihat hasil ajang empat tahunan Pekan
Olahraga Nasional (PON) terakhir. PON merupakan ajang tonggak prestasi olahraga
suatu daerah.
Sebagaimana kita
tahu, tim cabang olah raga sepak bola Aceh gagal lolos pada PON Riau tahun 2012
lalu. Pada saat itu Aceh gagal pada babak penyisihan Pra PON Gup I yang
berlangsung di rumah sendiri, Banda Aceh. Padahal pada saat PON tahun 2008 di
Kalbar tim sepak bola Aceh mampu menembus ajang olahraga terbesar di tanah air
itu. Dari hasil tersebut menunjukkan ada grafik penurunan. Untuk mengetahui
apakah sepak bola Aceh kini sudah
mengalami peningkatan, jawabannya bisa dilihat pada hasil PON berikutnya tahun
2016 nanti.
Pentingnya
Kompetisi Pemain Muda
Berikutnya yang
bisa dijadikan tolak ukur adalah suatu daerah mampu melahirkan banyak pemain-pemain
muda bertalenta hasil pembinaan internal. Pemain-pemain muda tersebut dimatangkan
lewat sebuah kompetisi pemain muda yang diadakan secara kontinu oleh Pengprov
atau pun Pengcab.
Okey, kita semua
sepakat Aceh punya banyak talenta-talenta berkualitas. Aceh pernah membuat
program jangka panjang pengiriman atlet berguru ke Paraguay. Salah satu
alumninya yang cukup bersinar adalah Syahrizal yang kini ada dalam skuad timnas
Sea Games. Ada juga program PPLP Aceh yang setiap tahunnya menelurkan
lulusan-lulusan jempolan. Syakir Sulaiman, Hendra Sandi dan Miftahul Hamdi
adalah hasil tempaan PPLP Aceh. Belum lagi ditambah dengan bakat-bakat alam tak
terjamah yang tersebar di seluruh penjuru Aceh
Sebelumnya PSSI
pusat kurang melirik potensi pemain muda yang dimiliki Aceh. Entah karena sebab
apa. Sebelum akhirnya seorang Indra Sjafri datang dengan metode “blusukan”-nya telah
menemukan Zulfiandi, Hendra Sandi dan Miftahul Hamdi.
Coach Indra percaya bahwa
pemain-pemain muda terbaik itu sebenarnya ada di daerah. “Pengembaraan”-nya
mencari bibit-bibit muda ke pelosok-pelosok negeri lebih dikarenakan tidak
adanya kompetisi untuk pemain-pemain muda yang berjenjang dan padu di Indonesia.
"Blusukan itu akibat tidak adanya sistem yang bagus, tidak
adanya kompetisi yang berjenjang,” ungkapnya pada BBC Indonesia.
Padahal
kompetisi bagi pemain muda selain bertujuan meningkatkan skill dan mental pemain juga memudahkan bagi pemandu bakat untuk
menemukan bakat-bakat di daerah. Ketiadaan Kompetisi berjenjang untuk pemain
muda inilah yang menyebabkan prestasi sepak bola kita semakin terpuruk.
Coba kita
melihat apa yang sudah dilakukan negara-negara lain untuk mengembangkan
pemain-pemain mudanya. Contohnya raksasa sepak bola Eropa, Jerman. DFB (PSSI-nya
Jerman) mewajibkan klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 untuk memiliki akademi
junior sendiri. Dalam akademi para pemain-pemain muda tersebut dibekali dengan skill individu dan skill kolektif yang baik.
Data Pemerintah Jerman mencatat bahwa setiap tahun sekitar 5000 anak usia 12 tahun bergabung dengan akademi sepak bola di Jerman. Jauh meninggalkan Negara-negara tradisi sepak bola Eropa lainnya semisal Italia, Perancis dan Inggris. Jangan heran dari bagusnya pembinaan pemain muda Jerman maka lahirlah pemain-pemain berkualitas bintang lima. Seperti Thomas Mueller, Toni Kroos, Jerome Boateng, Marco Reus, Mats Hummels, Mesut Ozil, Sami Khedira dan Mario Gotze.
Belajarlah
dari PSSI Surabaya
Sulit rasanya
meniru apa yang sudah dilakukan Jerman. Negaranya Adolf Hitler itu sedang
menikmati buah hasil pembinaan berjenjang yang sudah dilakukan dalam satu
dekade terakhir. Sedang kita, ribut-ribut di tubuh otoritas tertinggi sepakbola
Indonesia membuat mereka lupa apa sebenarnya hal paling penting yang harus
segera dibenahi. Sampai saat ini saja PSSI tak punya cetak biru yang jelas
tentang pembinaan pemain usia muda. Kompetisi junior seperti Piala Suratin dan
Piala Menpora juga tidak kedengaran lagi gaungnya.
Evan Dimas, Jebolan kompetisi internal PSSI Surabaya (foto: viva.co.id) |
Belum lagi
melihat sikap klub-klub profesional kita yang harusnya punya tanggung jawab
melahirkan pemain-pemain muda produk akademi tapi malah memilih jalur instan.
Hanya klub-klub ISL yang punya tim junior (U-21) itupun karena merupakan bagian
dari syarat mengikuti liga. Minimnya dana selalu jadi alasan. Lha, untuk membayar gaji pemain saja
sudah kelimpungan apalagi mau membentuk akademi.
Lalu apa yang
harus dilakukan PSSI Pengprov Aceh dan seluruh Pengcab PSSI yang ada di Aceh
sebagai perpanjangan tangan PSSI pusat. Apakah harus diam berpangku tangan
sembari menunggu komando. Menghidupkan kompetisi internal adalah salah satu
solusi pembinaan pemain muda Aceh. Bukankah dana APBD untuk sepak bola amatir
diperbolehkan!
Langkah Pengcab
PSSI Surabaya bisa ditiru. PSSI Surabaya dalam satu dekade terakhir secara
konsisten mengadakan kompetisi internal. Kompetisi antar klub-klub anggota PSSI
Surabaya ini terbukti sukses melahirkan pemain berkualitas seperti Taufiq,
Andik Vermansyah dan yang sedang menjadi buah bibir akhir-akhir ini, Evan Dimas
Darmono.
PSSI Surabaya
punya program yang sangat bagus. Kompetisi dilaksanakan dengan format kompetisi
penuh. Pemain-pemain muda terbaik hasil pantauan kompetisi internal ini nantinya
dimasukkan ke dalam tiga tim amatir yang merupakan “adik” Persebaya, yakni
Surabaya Muda (Divisi I PSSI), Bajul Ijo (Divisi II) dan Arek Suroboyo (Divisi
III). Ketiga tim amatir tersebut berfungsi sebagai akademi, bila terus berkembang
mereka di promosikan menjadi pemain Persebaya.
Aceh sebenarnya
juga punya kompetisi internal bahkan lebih luas cakupannya meliputi satu
provinsi bernama Komite Liga Aceh (K-LigaA). K-LigA yang mulai diselenggarakan
sedari tahun 2008 ini mempertemukan klub bentukan K-LigA se-Provinsi Aceh.
Klub-klub tersebut bukanlah klub yang terdaftar sebagai anggota PSSI tapi klub
amatir lokal.
Tapi K-LigA
belum mampu menjawab ekspektasi publik. Arah kompetisi yang tidak jelas ditambah
minimnya sosialisasi dan persiapan tim peserta membuat kualitas kompetisi
laksana tarkam. K-LigA sendiri direncanakan
akan diadakan lagi serentak pada tanggal 26 November ini setelah penyelenggaraan
terakhir pada 2011 lalu.
Untuk ukuran Pengcab, dalam satu tahun terakhir
sebenarnya ada beberapa Pengcab Kabupaten/Kota di Aceh yang aktif mengadakan
kompetisi internal. Sebut saja Kompetisi klub Persiraja, Kompetisi Pengcab PSSI
Banda Aceh, Kompetisi
U-21 PSSI Aceh Besar dan yang baru saja berakhir kompetisi sepak bola U-18
Kabupaten Aceh Jaya. Kredit untuk Aceh Jaya karena telah melakukan gebrakan
menggunakan format home and away.
Publik masih menunggu apakah Pengcab-pengcab tersebut konsisten ditiap tahun dengan program
kompetisi internalnya atau malah tertidur lagi. Dan yang tak kalah penting
adalah pembinaan lanjutan kepada
pemain-pemain terbaik hasil pantauan kompetisi internal. Wadahi mereka ke dalam
satu akademi atau klub junior.
Semoga nantinya semakin banyak talenta-talenta muda
kita membawa harum nama Aceh dipentas nasional.
=====
Rizki
Zulfitri
Alumni FKIP
Penjaskesrek Unsyiah
Twitter: @RizkiZulfitri
Tidak ada komentar on "Kompetisi Internal, Solusi Pas Pengembangan Pemain Muda Aceh"