Kompetisi Internal, Solusi Pas Pengembangan Pemain Muda Aceh

PSSI
Banyak yang berpendapat tahun 2013 adalah tahun kebangkitan sepak bola Aceh. Alasannya ada beberapa nama pemain muda Aceh yang kini mendapat panggilan timnas junior. Sebut saja trio Zulfiandi, Hendra Sandi Gunawan dan Miftahul Hamdi yang dipanggil pelatih U-19, Indra Sjafri yang tengah mempersiapkan tim menuju kejuaraan Piala Asia di Myanmar tahun depan. Khusus Zulfiandi dan Hendra Sandi adalah pemain yang juga mengisi skuad Garuda Jaya kala sukses menjuarai Piala AFF U-19 september lalu.

Lalu ada Syahrizal (Persija Jakarta) dan Syakir Sulaiman (Persiba Balikpapan) yang kini tengah bergabung bersama timnas U-23 arahan Rahmad Darmawan. Mereka masih menjalani seleksi ketat bersaing menjadi pemain yang dibawa ke Sea Games.ke 27 di Myanmar Desember nanti.

Bak oase, prestasi pemain-pemain di atas menggairahkan kembali masyarakat sepak bola Aceh. Kerinduan akan adanya pemain asal Aceh memperkuat tim garuda diajang internasioal telah terpenuhi. Ya, setelah masa-masa keemasan Ismed Sofyan berakhir belum ada pemain asal Serambi Mekkah yang mampu menembus skuad nasional.
Pertanyaannya, benarkah dengan keberhasilan beberapa pesepak bola muda Aceh itu menembus timnas adalah merupakan kebangkitan sepak bola Aceh? Jawabannya: tidak sepenuhnya benar.

Untuk mengetahui keberhasilan suatu daerah dalam usaha memajukan olahraganya tentu punya tolak ukur yang jelas. Salah satunya adalah melihat hasil ajang empat tahunan Pekan Olahraga Nasional (PON) terakhir. PON merupakan ajang tonggak prestasi olahraga suatu daerah.

Sebagaimana kita tahu, tim cabang olah raga sepak bola Aceh gagal lolos pada PON Riau tahun 2012 lalu. Pada saat itu Aceh gagal pada babak penyisihan Pra PON Gup I yang berlangsung di rumah sendiri, Banda Aceh. Padahal pada saat PON tahun 2008 di Kalbar tim sepak bola Aceh mampu menembus ajang olahraga terbesar di tanah air itu. Dari hasil tersebut menunjukkan ada grafik penurunan. Untuk mengetahui apakah  sepak bola Aceh kini sudah mengalami peningkatan, jawabannya bisa dilihat pada hasil PON berikutnya tahun 2016 nanti.

Pentingnya Kompetisi Pemain Muda

Berikutnya yang bisa dijadikan tolak ukur adalah suatu daerah mampu melahirkan banyak pemain-pemain muda bertalenta hasil pembinaan internal. Pemain-pemain muda tersebut dimatangkan lewat sebuah kompetisi pemain muda yang diadakan secara kontinu oleh Pengprov atau pun Pengcab.

Okey, kita semua sepakat Aceh punya banyak talenta-talenta berkualitas. Aceh pernah membuat program jangka panjang pengiriman atlet berguru ke Paraguay. Salah satu alumninya yang cukup bersinar adalah Syahrizal yang kini ada dalam skuad timnas Sea Games. Ada juga program PPLP Aceh yang setiap tahunnya menelurkan lulusan-lulusan jempolan. Syakir Sulaiman, Hendra Sandi dan Miftahul Hamdi adalah hasil tempaan PPLP Aceh. Belum lagi ditambah dengan bakat-bakat alam tak terjamah yang tersebar di seluruh penjuru Aceh

Sebelumnya PSSI pusat kurang melirik potensi pemain muda yang dimiliki Aceh. Entah karena sebab apa. Sebelum akhirnya seorang Indra Sjafri datang dengan metode “blusukan”-nya telah menemukan Zulfiandi, Hendra Sandi dan Miftahul Hamdi.

Coach Indra percaya bahwa pemain-pemain muda terbaik itu sebenarnya ada di daerah. “Pengembaraan”-nya mencari bibit-bibit muda ke pelosok-pelosok negeri lebih dikarenakan tidak adanya kompetisi untuk pemain-pemain muda yang berjenjang dan padu di Indonesia.

"Blusukan itu akibat tidak adanya sistem yang bagus, tidak adanya kompetisi yang berjenjang,” ungkapnya pada BBC Indonesia.

Padahal kompetisi bagi pemain muda selain bertujuan meningkatkan skill dan mental pemain juga memudahkan bagi pemandu bakat untuk menemukan bakat-bakat di daerah. Ketiadaan Kompetisi berjenjang untuk pemain muda inilah yang menyebabkan prestasi sepak bola kita semakin terpuruk.

Coba kita melihat apa yang sudah dilakukan negara-negara lain untuk mengembangkan pemain-pemain mudanya. Contohnya raksasa sepak bola Eropa, Jerman. DFB (PSSI-nya Jerman) mewajibkan klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 untuk memiliki akademi junior sendiri. Dalam akademi para pemain-pemain muda tersebut dibekali dengan skill individu dan skill kolektif yang baik.

Data Pemerintah Jerman mencatat bahwa setiap tahun sekitar 5000 anak usia 12 tahun bergabung dengan akademi sepak bola di Jerman. Jauh meninggalkan Negara-negara tradisi sepak bola Eropa lainnya semisal Italia, Perancis dan Inggris. Jangan heran dari bagusnya pembinaan pemain muda Jerman maka lahirlah pemain-pemain berkualitas bintang lima. Seperti Thomas Mueller, Toni Kroos, Jerome Boateng, Marco Reus, Mats Hummels, Mesut Ozil, Sami Khedira dan Mario Gotze.

Belajarlah dari PSSI Surabaya

Sulit rasanya meniru apa yang sudah dilakukan Jerman. Negaranya Adolf Hitler itu sedang menikmati buah hasil pembinaan berjenjang yang sudah dilakukan dalam satu dekade terakhir. Sedang kita, ribut-ribut di tubuh otoritas tertinggi sepakbola Indonesia membuat mereka lupa apa sebenarnya hal paling penting yang harus segera dibenahi. Sampai saat ini saja PSSI tak punya cetak biru yang jelas tentang pembinaan pemain usia muda. Kompetisi junior seperti Piala Suratin dan Piala Menpora juga tidak kedengaran lagi gaungnya.
Evan Dimas, Jebolan kompetisi internal PSSI Surabaya (foto: viva.co.id)

Belum lagi melihat sikap klub-klub profesional kita yang harusnya punya tanggung jawab melahirkan pemain-pemain muda produk akademi tapi malah memilih jalur instan. Hanya klub-klub ISL yang punya tim junior (U-21) itupun karena merupakan bagian dari syarat mengikuti liga. Minimnya dana selalu jadi alasan. Lha, untuk membayar gaji pemain saja sudah kelimpungan apalagi mau membentuk akademi.

Lalu apa yang harus dilakukan PSSI Pengprov Aceh dan seluruh Pengcab PSSI yang ada di Aceh sebagai perpanjangan tangan PSSI pusat. Apakah harus diam berpangku tangan sembari menunggu komando. Menghidupkan kompetisi internal adalah salah satu solusi pembinaan pemain muda Aceh. Bukankah dana APBD untuk sepak bola amatir diperbolehkan!

Langkah Pengcab PSSI Surabaya bisa ditiru. PSSI Surabaya dalam satu dekade terakhir secara konsisten mengadakan kompetisi internal. Kompetisi antar klub-klub anggota PSSI Surabaya ini terbukti sukses melahirkan pemain berkualitas seperti Taufiq, Andik Vermansyah dan yang sedang menjadi buah bibir akhir-akhir ini, Evan Dimas Darmono.

PSSI Surabaya punya program yang sangat bagus. Kompetisi dilaksanakan dengan format kompetisi penuh. Pemain-pemain muda terbaik hasil pantauan kompetisi internal ini nantinya dimasukkan ke dalam tiga tim amatir yang merupakan “adik” Persebaya, yakni Surabaya Muda (Divisi I PSSI), Bajul Ijo (Divisi II) dan Arek Suroboyo (Divisi III). Ketiga tim amatir tersebut berfungsi sebagai akademi, bila terus berkembang mereka di promosikan menjadi pemain Persebaya.

Aceh sebenarnya juga punya kompetisi internal bahkan lebih luas cakupannya meliputi satu provinsi bernama Komite Liga Aceh (K-LigaA). K-LigA yang mulai diselenggarakan sedari tahun 2008 ini mempertemukan klub bentukan K-LigA se-Provinsi Aceh. Klub-klub tersebut bukanlah klub yang terdaftar sebagai anggota PSSI tapi klub amatir lokal.

Tapi K-LigA belum mampu menjawab ekspektasi publik. Arah kompetisi yang tidak jelas ditambah minimnya sosialisasi dan persiapan tim peserta membuat kualitas kompetisi laksana tarkam. K-LigA sendiri direncanakan akan diadakan lagi serentak pada tanggal 26 November ini setelah penyelenggaraan terakhir pada 2011 lalu.

Untuk ukuran Pengcab, dalam satu tahun terakhir sebenarnya ada beberapa Pengcab Kabupaten/Kota di Aceh yang aktif mengadakan kompetisi internal. Sebut saja Kompetisi klub Persiraja, Kompetisi Pengcab PSSI Banda Aceh, Kompetisi U-21 PSSI Aceh Besar dan yang baru saja berakhir kompetisi sepak bola U-18 Kabupaten Aceh Jaya. Kredit untuk Aceh Jaya karena telah melakukan gebrakan menggunakan format home and away.

Publik masih menunggu apakah Pengcab-pengcab  tersebut konsisten ditiap tahun dengan program kompetisi internalnya atau malah tertidur lagi. Dan yang tak kalah penting adalah pembinaan lanjutan  kepada pemain-pemain terbaik hasil pantauan kompetisi internal. Wadahi mereka ke dalam satu akademi atau klub junior. 

Semoga nantinya semakin banyak talenta-talenta muda kita membawa harum nama Aceh dipentas nasional.
=====

Rizki Zulfitri
Alumni FKIP Penjaskesrek Unsyiah
Twitter: @RizkiZulfitri

Tidak ada komentar on "Kompetisi Internal, Solusi Pas Pengembangan Pemain Muda Aceh"

Leave a Reply