Logo Persiraja |
Jika membahas tentang
Aceh dikancah persepakbolaan nasional tentu tidak bisa lepas dari salah satu
klub yang namanya dulu cukup harum. Ya, tidak salah lagi. Klub itu bernama Persatuan
Sepak bola Indonesia Kutaraja, atau
yang biasa disingkat dengan sebutan Persiraja. Klub yang bermarkas di Kota
Banda Aceh ini sudah sangat lama menancapkan kukunya dipanggung persepakbolaan
tanah air mulai dari era Perserikatan hingga sekarang.
Sejarah
mencatat, pada tanggal 31 Agustus 1980 Laskar
Rencong -- julukan Persiraja -- berhadapan dengan Persipura Jayapura pada
final kompetisi Persirakatan di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Tertinggal
lebih dulu lewat gol pemain Persipura, Leo Kapisa. Persiraja bangkit lewat gol
Rustam Syafari dan dua gol Bustamam. Persiraja pun menang dengan skor 3-1 dan
memastikan diri menjadi juara kompetisi kasta tertinggi sepakbola Indonesia
kala itu.
Lewat prestasi
tersebut, klub yang lahir pada 28 Juli 1957 itu telah tercatat dengan tinta
emas sebagai salah satu klub yang namanya melegenda. Persiraja mengikuti jejak
klub-klub besar yang pernah menjuarai kompetisi Perserikatan seperti Persis
Solo, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, PSM Ujungpandang (sekarang
Makassar), Persib Bandung dan PSMS Medan.
Pemain-pemain yang
membawa harum nama Persiraja era itu masih terus dielu-elukan hingga kini. Mereka
adalah putra-putra lokal terbaik dijamannya, sebut saja nama Bustamam, Rustam
Syafari, Nasir Gurumud dan Zulkifli Alfat. Prestasi gemilang yang mereka catat belum
mampu disamai generasi-generasi penerusnya.
Sejak berubahnya
format kompetisi yang menggabungkan Perserikatan dan Galatama hingga lahirnya
satu Liga Profesional pada tahun 1994, prestasi Persiraja pelan-pelan mulai
merosot. Persiraja hanya menjadi klub semenjana di Divisi Utama -- kasta
tertinggi saat itu. Bahkan Persiraja pernah terdegradasi pada tahun 2001 dan
kembali promosi ke divisi utama pada tahun 2006.
Berlanjut dengan
lahirnya Indonesian Super Leaugue
(ISL) pada tahun 2008. PSSI memperbaharui manual liga, yakni hanya ada 18 klub
terbaik di Indonesia yang berlaga dikasta tertinggi dan sekaligus menghilangkan
format dua wilayah yang sebelumnya fasih digunakan. Persiraja yang pada
kompetisi divisi utama wilayah barat tahun 2007 hanya berada diranking 17 akhirnya
gagal ke panggung ISL.
Pada musim
2010/2011 menjadi momen kebangkitan Persiraja. Merekrut mantan pemain nasional,
Harry Kiswanto dikursi pelatih, Persiraja tampil meyakinkan. Puncaknya adalah
Persiraja berhasil menjadi runner-up
divisi utama setelah dipartai final dikalahkan Persiba Bantul dengan skor tipis
1-0. Dengan hasil itu Persiraja memastikan diri lolos ke ISL musim kompetisi 2011/2012.
Rakyat Aceh pun berpesta.
Korban Dualisme PSSI
Tapi mimpi
menjadi kontestan ISL harus dikubur dalam-dalam. Bermula dari kisruh di tubuh
PSSI pada pertengahan tahun 2011. Sang pemegang otoritas tertinggi
persepakbolaan tanah air, Nurdin Halid lengser dari jabatannya. Nurdin dianggap
gagal memajukan pesepakbolaan nasional. Setelah melalui proses yang alot, maka terpilihlah
Djohar Arifin Husin sebagai suksesor diposisi ketua umum PSSI.
Alih-alih
meneruskan kebijakan pengurus sebelumnya. Bersama dewan pengurus yang baru,
Djohar memperbaharui bahkan mencoret kebijakan-kebijakan kepengurusan rezim
Nurdin. Yang paling santer adalah merubah nama kompetisi tertinggi di Indonesia
dari yang selama ini adalah ISL menjadi Indonesian
Premier League (IPL).
Perubahan nama
kompetisi tadi menimbulkan konflik antara PSSI dan klub-klub anggota PSSI. Kebijakan-kebijakan
ngawur PSSI ini yang akhirnya membuat para barisan sakit hati mencetuskan lahirnya
organisasi tandingan bernama Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) yang
dinahkodai La Nyala Mataliti. Dualisme liga pun tak terhindarkan. PSSI
bersikeras melaksanakan IPL walaupun beberapa klub sudah menyatakan mundur,
sedangkan klub-klub ISL mengikuti liga di bawah naungan KPSI.
Kesepakatan merger Persiraja dan Aceh United (foto: waspada.co.id) |
Bagaimana dengan
Persiraja? Persiraja yang notabene klub promosi dikompetisi ISL ikut larut dalam
dagelan politik sepakbola itu. Ketua umum Persiraja, Zahrudin dan ketua
formatur Persiraja yang juga anggota komite eksekutif PSSI -- kini sudah
dipecat, Mawardi Nurdin pada bulan Agustus 2011 menyepakati kerjasama merger antara Persiraja dan Aceh United,
yang merupakan klub peserta Liga Primer Indonesia bentukan konsorsium yang
bermarkas di Aceh.
Dengan kebijakan
tersebut Persiraja bukan lagi milik Pemerintah Kota Banda Aceh tapi sekarang
berada di bawah naungan PT Aceh Sporting Mandiri. Sesuai kesepakatan merger tersebut semua Biaya operasional
Persiraja untuk mengarungi kompetisi ditanggung oleh konsorsium IPL. Alhasil,
Persiraja hanya bisa berlaga di IPL.
Kebijakan
Pengurus Persiraja tadi menuai pro dan kontra. Sebagian pengamat beranggapan
ini langkah yang tepat. Seperti yang kita tahu mulai tahun 2012, Menteri
Dalam Negeri, Gumawan Fauzi resmi menyetop pengucuran Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) oleh pemerintah daerah untuk klub sepakbola profesional.
Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2011. Persiraja selama ini menyusu dari dana APBD, dengan
dilarangnya penggunaan APBD untuk sepakbola maka Persiraja akan kelimpungan
mencari sumber dana baru.
“Peleburan (merger)ini sangat menguntungkan
Persiraja, dua aspek (dana dan legalitas) permasalahan Persiraja dapat
teratasi. Yang penting Persiraja bisa mendaftar untuk diverifikasi agar bisa
mengikuti kompetisi.” Tukas Mawardi kala itu.
Sedang yang kontra beranggapan Pengurus Persiraja sengaja
lepas tangan dan tidak mau ambil pusing dengan masa depan Persiraja. Ada juga
yang menuding ini lebih kepada kebijakan politis. Jabatan Mawardi sebagai
anggota komite eksekutif PSSI membuatnya melunak dengan kebijakan-kebijakan tak
populer PSSI.
Bak roda yang
berputar. Tumpuk kepemimpinan PSSI kini telah berubah 180 derajat. Kongres Luar
Biasa (KLB) PSSI pada 17 Maret 2013 berakhir dengan beberapa keputusan tentang
unifikasi liga. Djohar Arifin Husin memang masih menjadi ketua sah PSSI dan La
Nyala kini diangkat menjadi wakil ketua. ISL yang dahulu ilegal menjadi liga
yang sah. Sedang IPL yang berjalan “compang-camping” akhirnya dihentikan dan
tidak diakui hasilnya.
Berada
di Titik Nadir
Hingga kini ada
stigma yang berkembang “Persiraja itu Aceh dan Aceh itu Persiraja”. Era 80-an
hingga 90-an Persiraja dikenal selalu diperkuat pemain-pemain terbaik Aceh.
Bisa bermain memperkuat Persiraja adalah puncak prestasi bagi pesepakbola Aceh.
Pada saat itu jangan heran Persiraja tampil dengan karakter yang kuat.
Jawabannya satu: Fanatisme daerah!
Tapi itu cerita
dulu, tiga dekade lebih setelah kiprah gemilang diperserikatan tak ada lagi
yang tersisa. Yang paling baru dan membuat miris pencinta sepakbola Aceh adalah
hasil play-off IPL Oktober lalu.
Berbekal semangat
untuk lolos verifikasi -- sesuai KLB 17 Maret hanya 4 klub IPL yang lolos ke
ISL dan hanya 7 klub IPL yang berhak mengikuti verifikasi. Laskar Rencong babak belur dihajar lawan-lawannya. Kalah 1-4 dari
Persepar Palangkaraya, digebuk tuan rumah Persiba Bantul 2-4, kalah telak tiga
gol tanpa balas dari wakil Papua Perseman Manokwari dan takluk dari PSIR
Rembang 3-5. Persiraja pun menjadi juru kunci grup L dan gagal mengikuti proses
verifikasi.
Pada jalannya play-off IPL lalu yang juga disiarkan
langsung oleh stasiun televisi swasta, Persiraja tampil melempem. Tidak muncul
karakter permainan Persiraja yang selama ini kita tahu. Kondisi fisik pemain
buruk, daya juang tidak kelihatan, kerjasama antar pemain juga parah. Alhasil
Persiraja jadi bulan-bulanan lawan. Ada apa dengan Persiraja?
Sebelum
mengikuti kompetisi IPL tahun ini memang sudah banyak yang meramalkan Persiraja
akan gagal total. Bagaimana tidak, karena seretnya dana Persiraja hanya bermaterikan
pemain muda minim pengalaman hasil pantauan kompetisi internal dan tanpa diperkuat
pemain asing. Belum lagi masalah gaji pemain yang tersendat membuat kondisi
internal tim tidak kondusif. Persiraja masih beruntung bisa finish diperingkat
10 IPL (hingga kompetisi dihentikan).
Pertanyaannya,
dimana sekarang keberadaan konsorsium yang katanya menjadi penalang dana bagi
Persiraja? Dimana keberadaan mereka saat pemain ingin haknya dibayar?
Prestasi tahun
ini bisa jadi adalah yang terburuk sepanjang sejarah 56 tahun berdirinya
Persiraja. Persiraja kini berada dititik nadir. Sudah saatnya para stakeholder memikirkan masa depan
Persiraja. Sadarkah mereka, Persiraja itu jantong
hatee (jantung hati) rakyat Aceh. Walaupun secara administratif Persiraja berada
di Kota Banda Aceh, Tapi Persiraja bukan hanya milik warga Kota Banda Aceh.
Persiraja adalah milik rakyat Aceh.
Harus ada
langkah-langkah nyata membangkitkan Persiraja. Pemerintah harus menjembatani atau
mencarikan sumber dana baru, apakah itu pogram “bapak asuh” yang bekerjasama
dengan BUMN atau perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Aceh. Persiraja
adalah ikon Aceh dikancah persepakbolaan nasional. Jika Persiraja berjaya seluruh
rakyat Aceh turut bangga seperti saat Persiraja juara Perserikatan 33 tahun
yang lalu.
Selamatkan
Persiraja!
=====
Rizki
Zulfitri
Alumni FKIP
Penjaskesrek Unsyiah
@RizkiZulfitri
Tidak ada komentar on "Persiraja Nasibmu Kini"