Beberapa tahun silam saat masih duduk di bangku SMA, saban akhir pekan sepulang sekolah ada acara televisi yang selalu penulis tunggu-tunggu (selain berita sepakbola). Acara itu adalah program Jejak Petualang di TV7 (sekarang Trans7), program yang menampilkan penjelajahan seorang petualang ke seluruh pelosok Indonesia yang tentunya indah, unik, khas, dan sayang untuk dilewatkan.
Acara yang membuat kita kagum akan kekayaan, keindahan alam, budaya dan keanekaragaman Indonesia, suatu program yang membuat kita makin cinta tanah air. Acara tersebut telah menginspirasi pemuda seperti penulis untuk lebih kenal dan care terhadap lingkungan. Bahkan sempat terbesit dalam khayalan penulis menjadi salah satu petualang (host) dalam acara tersebut layaknya Rianni Djangkaru.
Ada salah satu episode yang sangat berkesan bagi penulis saat itu, yakni tentang penangkapan ikan paus oleh nelayan secara tradisional. Secara logika bagaimana mungkin dengan alat dan perlengkapan yang sangat sederhana dapat menangkap seekor paus dengan ukuran sangat luar biasa besarnya. Tradisi berburu paus yang sudah turun-temurun ini, seakan menampakkan kepada kita tentang semangat gotong royong dan kerjasama. Semua bisa dilakukan bila bersama-sama bahkan menangkap ikan paus raksasa sekalipun. Pada saat itu saya sendiri tidak begitu tau tentang tempat dimana tradisi ini berlangsung. Yang penulis tahu tradisi ini berasal dari Indonesia bagian timur yang tempatnya belum banyak dikunjungi orang.
Waktu terus berlalu jalan kehidupan siapa yang tahu. Berawal dari mengikuti program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) mimpi menjadi "petualang" pun menjadi kenyataan. Saat pertama kali membaca tempat penugasan tertulis Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Penasaran dengan tempat penugasan, penulis pun mencari informasi sebanyak-banyaknya dengan searching di internet. Saat itu penulis mengetahui adanya tradisi penangkapan ikan paus di salah satu kecamatan di Kabupaten Lembata, Kecamatan Wulandoni tepatnya di desa Lamalera. Memori penulis pun kembali ke beberapa tahun yang lalu, teringat akan apa yang penulis tonton di acara Jejak Petualang.
Setibanya di Lembata, rasa penasaran penulis begitu besar. Banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai tradisi berburu paus yang penulis ajukan kepada orang tua asuh, teman-teman guru di sekolah, dan teman-teman baru yang penulis kenal di Lembata. Intinya harus bersabar, karena tradisi ini dimulai pada bulan Mei-Oktober tiap tahunnya. Kawanan paus, kebanyakan jenis koteklema (sperm whale) bermigrasi
ulang-alik perairan Pasifik-Samudra Hindia pada Mei hingga Oktober. Saat itu penduduk Lamalera menyebutnya masa lefa atau masa berburu paus. Kalaupun ada paus yang diburu saat bukan pada priode tersebut, maka bisa dikatakan itu adalah paus-paus yang tersesat.
6 Februari 2013, mendengar informasi dari teman-teman guru bahwa adanya paus yang terburu di Lamalera. Tanpa berpikir panjang penulis bergegas menuju ke Lamalera. Adapun jarak sekolah tempat tugas ke Lamalera hanya berjarak sekitar 45 menit perjalanan darat. Sesampainya di sana, rasa lelah perjalanan pun langsung hilang. Tampak pemandangan yang luar biasa, ada 4 ekor paus yang sedang di "sembelih" secara masal oleh warga nelayan Lamalera. Menggunakan parang yang tajam warga terus membelah jengkal demi jengkal tubuh "si raksasa". Air laut berubah merah, bau amis menyebar kemana-mana tapi tidak membuat penulis jijik, namun tetap antusias merekam gambar demi gambar hingga tidak ada momen yang terlewat.
Walaupun tidak melihat langsung proses perburuan ikan paus tersebut, tapi sudah melihat hasil tangkapannya saja sudah membuat hati penulis puas. Ini mimpi yang menjadi kenyataan. Ini menjadi kisah yang sangat menarik untuk diceritakan kepada anak cucu nantinya. Indonesia begitu kaya teman, kita harus bangga jadi Indonesia.
Akulah petualang sejati
Rizki Zulfitri, S.Pd
Guru SM-3T asal Aceh
Tidak ada komentar on "Tradisi perburuan Ikan Paus di Lamalera (Akulah Petualang Sejati)"