SSB Naga Muda (Dok. Pribadi)

Sepakbola itu universal, sepakbola milik semua. Tak peduli status sosial anda, latarbelakang pendidikan, asal-usul, etnis, ras, bahkan agama, semuanya bersatu dalam sepakbola. Tak terkecuali anak-anak petani desa Belabaja sekitarnya, atau yang lebih populer dengan sebutan kawasan Boto. Hidup di daerah yang jauh dari  hingar bingar kota, tak membuat mereka berhenti merajut asa menjadi pesepakbola. 

 

Boto merupakan sebutan untuk desa Belabaja dan desa Labalimut yang dahulunya adalah satu desa, namun karena terjadi pemekaran, Boto terbelah menjadi dua desa tadi. Boto sendiri berada di kecamatan Nagawutung, kabupaten Lembata, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari kota Lewoleba -pusat pemerintahan kabupaten Lembata-, butuh waktu sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor untuk menuju daerah tersebut. 

Tapi tunggu dulu, untuk menuju ke sana anda harus ekstra berhati-hati, kondisi jalan yang rusak parah bakal membuat anda "setengah mati". Jangan mengharapkan merasakan nikmatnya listrik disiang hari, karena listrik hanya menyala selama 12 jam pada malam hingga pagi hari. Belum lagi jaringan telekomunikasi juga masih susah payah membuat kawasan Boto terasa terisolir.


Di kawasan tersebut hiduplah sekitar 1000 jiwa penduduk, mereka hidup dengan tenteram walaupun sekilas banyak yang hidupnya melarat. Ya, masyarakat Boto hidup dalam garis kemiskinan, mayoritas penduduknya hidup dengan memanfaatkan hasil alam dengan menjadi petani. Tekstur alamnya yang dataran tinggi, membuat Boto terkenal dengan daerah bersuhu sejuk dan tanahnya yang subur.

Di sanalah hidup sekumpulan anak-anak petani yang punya minat tinggi terhadap sepakbola, namun sayangnya mereka tidak tahu bagaimana cara mengembangkan bakat yang dimiliki. Tak ada klub sepakbola junior, Sekolah Sepakbola (SSB), atau Akademi Sepakbola pengembangan pesepakbola muda layaknya di kota-kota. Menjadi pesepakbola hebat hanya mimpi bagi mereka, mimpi yang mungkin mustahil jadi nyata!

SSB Naga Muda

Menjadi salah seorang pendidik dalam program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T), membuat penulis "terdampar" di kawasan Boto, bertugas menjadi salah seorang pengajar di SMPN 2 Nagawutung selama 1 tahun. Hidup jauh dari tanah kelahiran, jalan hidup siapa yang tahu!

Sebagai seorang guru Pendidikan Jasmani (Penjas), penulis punya tanggungjawab moral untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Masih terngiang dalam ingatan, saat sidang sarjana, salah seorang dosen penguji mengatakan bahwa seorang sarjana pendidikan olahraga bukan hanya bertindak sebagai pengajar di sekolah namun juga menjadi pembina olahraga di lingkungan sekitar.

"Saat anda dilepas menjadi sarjana olahraga anda bukan hanya menjadi seorang guru di sekolah, tapi lebih dari itu, anda akan menjadi pembina olahraga di lingkungan anda berada, Sudah siapkah anda menjadi sarjana olahraga?" ujar dosen penguji saat itu. Pernyataan dan sekaligus pernyataan yang sulit penulis jawab saat itu.

Genap setahun setelah resmi menjadi seorang sarjana pendidikan olahraga, jiwa pembina olahraga yang ada pada diri semakin berontak. Setiap harinya selalu hadir bisikan-bisikan yang berasal dari diri sendiri, bisikan yang berisi dorongan untuk terjun langsung membina sepakbola di lingkungan sekitar. Tak tega melihat pemandangan anak-anak Boto yang terlunta-lunta, tak memiliki wadah untuk mengasah bakatnya.

Atas inisiatif sendiri, penulis mengajak siswa SMPN 2 Nagawutung yang punya minat terhadap sepakbola, untuk hadir ke lapangan sepakbola desa Boto pada sore hari. Terdapat lapangan sepakbola di desa tersebut, lapangan sepakbola yang tidak cukup layak sebenarnya namun bisa dimaklumi. Bermodalkan satu buah bola, SSB Naga Muda resmi dilahirkan pada awal tahun 2013. Tak ada yang ingat tanggal pasti lahirnya SSB Naga Muda, pemberian nama juga spontanitas, apalah arti sebuah nama? Semua mengalir begitu saja.

Antusiasme siswa sangat luar biasa, lapangan seakan tak pernah sepi setiap diadakan latihan. Latihan sendiri diadakan dua kali dalam seminggu. Penulis sendiri langsung turun menjadi pelatih SSB Naga Muda. Bermodalkan pengalaman melatih pada saat menukangi tim sekolah dan SSB di Banda Aceh semasa kuliah. Pola kepelatihan sendiri berpedoman pada Kurikulum dan Pedoman Dasar Sepakbola Indonesia karya Timo S. Scheunemann.

Sepakbola adalah bagian dari hidup mereka, sekilas mengingatkan penulis pada masa-masa seusia mereka. Saat seusia mereka penulis juga adalah "anak ingusan" yang tergila-gila pada sepakbola, namun keadaannya jauh lebih baik, sarana dan prasarana penunjang prestasi di daerah penulis tinggal lebih memadai. Mimpi penulis menjadi pesepakbola profesional memang tak kesampaian, konflik antara pendidikan dan sepakbola yang mengharuskan untuk memilih salah satu. Namun nilai-nilai positif dari olahraga bernama sepakbola masih terjaga sampai mati.

Dengan segala keterbatasan, penulis harus realistis. Dengan iklim sepakbola di NTT terkhusus di Lembata yang jauh dari berkembang. Sulit rasanya mengharap mereka menjadi pesepakbola profesional nantinya, mereka tetaplah anak petani yang tengah berjuang melawan kemiskinan. Tapi setidaknya penulis telah berhasil mentransferkan nilai-nilai positif yang terkandung pada sepakbola.

Mereka telah belajar meningkatkan keterampilan mereka, belajar bekerja keras, belajar bekerja sama, belajar berkompetisi secara sehat dan belajar disiplin. Gaya hidup mereka pun pelan-pelan berubah, mereka jauh dari kebiasaan merokok, mabuk-mabukan, dan hal-hal negatif lainnya. Semua itu karena sepakbola.

Mereka adalah bocah-bocah yang kurang beruntung, andai mereka bisa memilih pasti mereka ingin di lahirkan di tempat yang lebih baik. Sepakbola milik semua, tak ada yang tak mungkin. Jangan berhenti bermimpi, walau berat tetap kejar mimpimu nak!

*****

Rizki Zulfitri, S.Pd 

SSB Naga Muda wujud dedikasi putra bangsa, turun langsung mengasah bakat-bakat alam yang ada di daerah terpencil. Salah satu bukti guru penjas sebagai garda terdepan kemajuan olahraga nasional