Kisah Klub dan Pesepak Bola Aceh Tanpa APBD

Mulai tahun 2012, Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi resmi menyetop pengucuran Anggaran Penda­patan Belanja Daerah (APBD) oleh pemerintah daerah untuk klub sepakbola profesional. Larangan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2011, yang menegaskan untuk anggaran tahun 2012, tak boleh lagi ada dana untuk sepakbola pro­fesional.

Bak petir disiang hari, klub-klub sepakbola Aceh yang berlaga di liga profesioanal baik yang berada di bawah PT Liga Indonesia maupun LPIS mulai kelimpungan mencari cara mendapatkan dana segar agar mampu mengikuti kompetisi tahun 2012. Berbagai cara dilakukan termasuk mencari sponsor, pendekatan dengan pengusaha, perusahaan BUMN dan BUMD bahkan merger dengan klub lain.

Kita semua tahu klub-klub yang katanya profesional tersebut biasanya hanya berpangku tangan menunggu asupan dana APBD. Akan tetapi keadaan memaksa mereka memeras otak mencari sumber pendanaan baru. Ironisnya satu persatu pengurus teras klub yang notabene pejabat tinggi publik juga lepas tangan menjauh dari klub.


Klub-klub pun mau tidak mau harus mengikuti kompetisi karena tidak mau terdegradasi ke liga amatir. Berbekal semangat kedaerahan dan janji-janji manis berbau politis dalam bentuk talangan dana dari pihak yang bertikai saat itu (PSSI dan KPSI) klub pun maju ke kompetisi. Hasilnya kita bisa lihat sekarang, tahun 2012 lalu hanya PSLS Lhoksemawe yang prestasinya lumayan. Bagaimana dengan klub profesional Aceh lainnya? jauh dari harapan, klub-klub tampil melempem bahkan ada yang jatuh ke jurang degradasi. Alasan utama kegagalan adalah masalah pendanaan klub yang kembang kempis.

Dibalik itu semua ada yang lebih disayangkan, klub masih bermasalah dengan pemain soal pelunasan gaji  dan utang dengan pihak ketiga. Bukan rahasia lagi masalah gaji adalah masalah klasik dalam kepengurusan klub sepakbola profesional di Aceh. Tahun-tahun kebelakang saat APBD masih menjadi primadona klub masih kewalahan apalagi sekarang disaat penggunaan APBD diharamkan.

Pemain Jadi Korban (Lagi)

Dewasa ini Situs jejaring sosial atau social media seperti Facebook, Twitter dan Blackberry Massenger (BBM) sekarang menjadi trend baru dalam menyuarakan isi hati, tak terkecuali dengan pemain sepakbola profesional. Belum lama ini seorang teman sebut saja Andi (bukan nama sebenarnya) pemain sepakbola di salah satu klub Aceh yang berlaga di divisi utama LPIS, menumpahkan kekesalan lewat status  BBM-nya yang berisi “Ka bayeu peng long Pak B####,” Yang bisa kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia “bayar uang saya Pak B####,” Bentuk kekesalan yang harus dimaklumi karena gajinya pada kompetisi tahun 2012 lalu masih sisa 5 bulan tidak ada kabarnya sampai sekarang.

Tak jauh berbeda, Boy (bukan nama sebenarnya) pemain dari Sumatera Barat yang hingga kini masih memperkuat salah satu klub Aceh yang berkompetisi di divisi utama PT Liga Indonesia, juga menumpahkan kegelisahannya lewat akun Facebook pribadinya “Gak Jelas..Kapan hak kami pak,” Menunjuk kepada seseorang yang harusnya bertanggungjawab atas gajinya yang belum sepenuhnya dia terima.

Kisah Andi dan Boy tadi hanya bahagian kecil dari bobroknya kepengurusan klub sepakbola di Aceh. Masih banyak kasus serupa yang hingga kini kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Seakan-akan masalah gaji menjadi hal yang lumrah dan biasa. Banyak anggapan masalah tidak dibayar penuhnya gaji sudah resikonya bermain di klub Aceh. Inikah yang dinamakan profesional?

Bagaimana dengan pemain sendiri, banyak dari mereka yang tidak tahu berbuat apa, hanya bisa berharap dan berpasrah diri. Terbuai oleh angin-angin surga dari pengurus klub yang menjanjikan akan segera melunasi tapi entah kapan. Orang-orang yang namanya mereka sebut-sebut yang seharusnya mempertanggungjawab seakan "masa bodoh". Jejaring sosial pun menjadi tempat mengadu berharap banyak orang berempati.



Antara Semangat Fanatisme atau Jatuh ke Lubang yang Sama.

Melihat latar belakang mereka yang menjadikan sepakbola sebagai sumber kehidupan utama tentu sangat disayangkan. Bagaimana mereka mengisi kebutuhan primer mereka, bagaimana nasib anak dan istri mereka. Apakah ini pernah dipikirkan oleh penyelenggara liga dan para pengurus klub?

Pemain hanya korban, sepakbola kita (Aceh) belum cukup mapan secara manajemen finansial. Kita hanya mengejar kata "profesional" tapi melupakan keadaaan kita yang sebenarnya belum layak dikatakan profesional. Menghidupkan Industri sepakbola bukan semudah membalikkan telapak tangan, kita harus realistis setidaknya kita harus mulai perlahan.

Kita sudah terlalu dimanjakan oleh nikmatnya APBD. Ketergantungan klub-klub kita terhadap APBD membuat klub-klub kita jauh dari kata mandiri. Penulis menganologikan klub sepakbola Aceh tanpa APBD Ibarat seorang "Bayi" yang ditinggal mati ibunya. "Asi" (APBD) yang sebagai kebutuhan utama seorang "Bayi" (Klub) tapi di dalam keadaan mendesak bayi tadi bisa juga diberikan "Susu Formula" (Sponsor atau Investor). Si bayi tidak harus menyusu dengan ibu yang baru tapi bisa diarahkan perlahan dengan memberi susu formula tadi.

Kini tanpa APBD semua klub mengencangkan ikat pinggang, tak ada lagi kontrak yang "wah". Salary cap (pembatasan gaji) kembali di dengungkan. Jumlah pemain asing pun di perhatikan, bahkan klub dengan nama besar seperti Persiraja mengikuti musim kompetisi 2013 tanpa memakai jasa pemain asing.

Bukan rahasia lagi saat klub-klub masih bisa menggunakan APBD gaya hidup pemain sepakbola sangat tinggi, tak terkecuali pesepakbola Aceh. Sebagai kaum high class yang terbiasa hidup dengan segala fasilitas yang serba mewah mereka acap hidup boros. Pada saat itu dengan gelontoran dana APBD seorang pemain sepakbola Profesional bisa mendapatkan nilai kontrak ratusan juta rupiah per kompetisi. Nilai yang sangat fantastis!

Saat ini keadaannya berubah 180 derajat, pemain pun mau tidak mau harus mencari klub yang secara finansial sanggup membayar mereka dengan layak. Jawabannya mungkin dengan mengadu nasib di luar Aceh. Tapi yang perlu diingat hanya 5 klub besar di Indonesia kompetisi tahun 2012 lalu yang bebas dari masalah gaji. Artinya masalah ketiadaan APBD ini bukan hanya masalah klub Aceh. Akhirnya pemain banyak pemain bertahan di Aceh dan bahkan terus bermain di klub yang belum melunasi haknya musim lalu.  

Bagi pemain muda yang baru terjun ke panggung profesional ini bagaikan kesempatan emas untuk "unjuk gigi". Mereka mungkin tidak terlalu memikirkan persoalan pelik mengenai gaji. Bisa tampil di lapangan dan dapat menimba pengalaman adalah tujuan utama. Akan tetapi bagi pemain yang sudah senior yang menjadikan sepakbola sebagai mata pencaharian, bermain tanpa digaji tentu sangat mempengaruhi kehidupan keseharian mereka. Kelangsungan hidup anak dan istri mereka ada di dalam gaji tersebut, dan pada akhirnya mempengaruhi mental dan motivasi pemain di lapangan.

Logikanya para pemain pasti lebih memilih dikontrak dengan nilai tidak besar tapi pembayarannya jelas dan tepat pada waktunya daripada nilai kontrak besar tapi tidak tidak ada kesanggupan dari pihak klub untuk melunasi.

Mungkin kita harus lebih bersabar lagi melihat industri sepakbola berjalan di Aceh. Berharap si "Bayi" tadi tidak ketergantungan lagi dengan "ASI", mencoba belajar berdiri sendiri dan akhirnya bisa berjalan dan meraih kedewasaan dan kemandirian di masa depan.

Semoga sepakbola Aceh berada pada tangan-tangan yang tepat dan menemukan kejayaannya.

*****

Rizki Zulfitri, S.Pd.
Alumni Jurusan Penjaskesrek Penjaskes Unsyiah
Guru SM-3T penempatan Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur
asal Kota Langsa, Aceh

Tidak ada komentar on "Kisah Klub dan Pesepak Bola Aceh Tanpa APBD "

Leave a Reply